KISAH NYATA

  KETIKA JADUL BERJIHAD


Kisah nyata, buah pena: nunung nurhamidah

                           A. Cita-cita Perjuangan Tokoh Jadul
Alkisah JADUL (jaman dulu) sekitar tahun 60-an menurut ceritera Bapak K.H. Dimyati, (Galaherang) berawal dari pergolakan politik di pusat Jakarta sehingga MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) dibubarkan, dan munculnya Partai Komunis (anti Tuhan) yang disebut PKI (Partai Komunis Indonesia) maka, Muhamad Natsir membuat salebaran kepada pemuka-pemuka agama ditiap desa untuk berjuang, berdakwah, menyebarkan Agama Islam, diantaranya berupa pendirian majlis Ta`lim atau pengajian-pengajian di masjid-masjid, langgar-langgar…., seiring dengan itu, kemudian Pa K.H. Dimyati yang pada waktu itu tengah berada di Jakarta dekat dengan Pak Moh. Natsir mengirimkan telegram kepada Bapak O.Shodikin yang lazim dipanggil pak Ikin di Cirahayu untuk berjuang mendirikan madrasah-madrasah. (Sekolah yang bernafaskan Islam), Hal ini sebagai langkah dakwah, memperluas penyebaran agama yang benar yakni, agama Islam, terutama untuk para generasi sebagai penerus perjuangan Bangsa.( Wawancara dengan Pak K.H.Dimyati, September 2004)
Searah dengan itu, pak ikin pun tengah melangkah berjuang di Desa Cirahayu, merobah alam fikiran penduduk kecamatan Luragung yang kebanyakannya pada waktu itu masih jauh dari pemahaman agama Islam, tidak sedikit yang kena pengaruh agama pasundan pimpinan Madrais dari cigugur, dan ilmu mikung.
Salah satu contoh sebagai bukti, ketika pak Ikin bertamu ke penduduk penganut ilmu Mikung bernama Cakarma. Bapak Cakarma menolak dan menyalahkan ucapan pak ikin, ketika Pak Ikin dijamu kue, mau makan kue itu berucap: “Bismilahi Ar Rohmaani Ar Rohiim”. “Nak, Jangan begitu, itu ucapan yang salah” ucap Pak Cakarma, “ucapkanlah Samiallah bukan Bismilah” sambungnya lagi. “Lho! Alasan nya pak ?” Tanya pak ikin penasaran. “sebab, kesemuanya sama-sama kekayaan Allah” jawab Cakarma lelaki tua itu. “Betul. Semuanya kekayaan Allah, karena itu, dalam segala pekerjaan harus dimulai dengan nama Allah, yaitu Bismilah” pak ikin menerangkan. Namun, cakarma tetap pada pendiriannya bahwa ucapan Bismilah itu salah. Akhirnya Pak Ikin berdialog terus dengan dia sampai tidak kurang dari 4 jam, termasuk tentang sholat, yang mana pendapat dia cukup hanya dengan niat, bisa sambil mencangkul, sambil dagang, sambil masak, sambil menyapu dan sebagainya. Faham itulah yang menyebar di kecamatan Luragung pada waktu itu yang dihawatirakan semakin menyebar di desa Cirahayu. (Wawancara dengan pak Ikin, dalam rangka pembuatan Makalah: ”Agama dikampungku”, 1974)
Untuk menghadang penyebaran faham yang salah, Pak Ikin menyusun kekuatan dengan pemuka agama disekitar wilayah Kecamatan Luragung (pada waktu itu masih Kewadanan). Bertambahlah semangat dan kekuatan Pak Ikin seterimanya telegram dari Pa Dimyati di Jakarta. Alam fikiran Pak Ikin tidak ditelan sendiri, dibicarakan, dicetuskan kepada tokoh-tokoh, para pemimpin yang ada didalam dan diluar desa sehingga, tidak kurang dari 40 orang pemimpin-pemimpin Islam dan Nasional. Dan diatara rekan-rekan juangnya yang paling dekat, selain Pak Dimyati yang sering mondar-mandir Jakarta adalah juga Bapak S. Imam Udin Pengawas pendidikan Agama Kersidenan Cirebon pada waktu itu, Bapak H. Hidayat Inspeksi Pendidikan Agama Islam Kab. Kuningan pada waktu itu, Pak Ahmadi, B.A dan pak Djauhari,B.A yang tengah kuliah di Jakarta pada waktu itu, menjadi konsul untuk menghubungi Departemen Agama di Jakarta, Bapak Zaenal Arifin Donatur Utama di Jakarta, Bapak A.Subari Kepala KUA Kec. Luragung pada waktu itu, Bapak A.Zawawi Penilik Agama pada waktu itu, Bapak Husnadi dan Muziana Penilik P & K pada waktu itu, Bapak Suyana Pen.Mas.Kewadanan Luragung waktu itu, Bapak O.Sukarya atmaja Wedana Luragung waktu itu dan Bapak Suparma Kepala Desa Cirahayu waktu itu yang membuka tanah dan gedung, dia lah pendukung utama setempat.
B. Berdirinya Tonggak Awal
Singkat ceritera, ahirnya, Pak Ikin dengan tekad yang kuat dan perjuangan yang serius penuh ketabahan menghadapi berbagai rintangan, bersama rekan-rekan juangnya yang didampingi pendukung utama, Bapak H. Kuwu Suparma, Bapak Moh.Mugni, Bapak Moh.Mahmud, Bapak A.Syamsudin, Bapak Rusamsi dan lain-lain, melangkah berjuang mendirikan PGAP ( Pendidikan Guru Agama tingkat Pertama). 4 Tahun. Sehingga, tepatnya tanggal 24 Juni 1962 proklamasi PGA daerah Kewadanan Luragung, terwujudlah; bertempat di Desa Cirahayu dengan kepala sekolah Bapak O.Shodikin karena, dia pula sebagai ketua panitia dan penggagas utama pendirian Lembaga pendidikan yang diberi nama PGAP. (setingkat SLTP/SMP)
Menurut ceritera Bapak H. Suwali, abituren PGAP periode pertama menerangkan bahwa: Pada saat pertama kali dibuka terdapat siswa kelas 1 (satu) sebanyak 32 orang yang berasal dari berbagai daerah dengan usia yang beraneka ragam, bahkan ada siswa yang saat itu sudah berusia 18 tahun. Para siswa saat itu sangat mematuhi kedisiplinan, mereka tabah dan semangat; tiap hari pulang-pergi ke sekolah berjalan kaki walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan ada yang dengan jarak sekitar 7 km dan menyebrangi sungai Cisanggarung, mereka tak pernah mengeluh, mereka para siswa semangat belajar meraih cita-cita menuju masa depannya yang penuh manfaat bagi semua. Mungkin inilah hasil gemblengan para tokoh jadul. (Wawancara –Ahad,14 Juni 2009- dengan pak H.Suwali, abituren PGAP periode pertama)
Adapun tempat belajarnya di gedung KPT. (Kursus Pemuda Tani). Kewadanan Luragung yang bertempat di Desa Cirahayu.
Saat itu, Kursus Pertanian yang diselenggarakan oleh Djawatan Pertanian mengalami kemunduran, maka, diajaklah oleh Kepala PGAP tersebut agar KPT bekerja sama untuk sama-sama mengadakan “pendidikan” yaitu, kurikulum PGA ditambah dengan kurikulum pertanian. Hingga pada waktu itu nama PGAP banyak yang mengira singkatan dari Pendidikan Guru Agama dan Pertanian, padahal, yang sebenarnya adalah Pendidikan Guru Agama tingkat Pertama (Wallahu `Alam), yang jelas arti dari keduanya memang mengena. Hal ini berlaku hingga 4 tahun. Kemudian dikarenakan pertanian tidak berkelanjutan maka, tempat/lahan dan gedung, oper alih guna bangunan kepada PGAP, statusnya waktu itu masih tanah desa.
Saat itu usia penulis baru 6 tahun ( 1956 – 1962 ). Tapi sampai kini masih tersimpan dalam ingatan: Kesibukan jadul (Ayahanda, pak Ikin) dan rekan-rekan juangnya yang mondar-mandir kesana-kemari, sibuk menulis, sibuk berdo`a dalam sholat dan dzikir bersama. Dan yang sering penulis lihat pada waktu itu sering ada kulub sampeu hipu ngebul (kukus singkong empuk mengepul) dimalam hari, diatas meja tulis dimana pak Ikin dan rekan-rekan juangnya bekerja dan banyak menulis. Sehingga sampai sekarang jika melihat singkong dikukus suka terbayang situasi masa silam, dengan kesibukan ayahanda yang menulis dibawah sinar lampu tempel yakni lampu minyak tanah, bukan lampu strum/ listrik masa kini. Lampu itu pakai semprong kaca putih tipis dengan kertas sepotong agar teduh keatas, namun kebawah pas meja tulis tersinar jelas. Pada saat-saat seperti itu, ibunda (Atin kartinah) pernah membisikan padaku yang masih polos dan bloon: “dungakeun bapak nuju berjuang, ulah rewel!” (= “doakan, ayah tengah berjuang, jangan rewel!”) hanya itu kata-kata yang ibunda bisikan ditelingaku ketika kuminta kulub sampeu (singkong kukus) yang ada di meja tulis itu. Sampai kini bisikan itu masih dapat didengar. Semakin dewasa usiaku semakin faham dari kejadian-kejadian yang terekam diotaku, dapat merasakan betapa jerih payah ayahanda O. Shodikin, bersama rekan-rekan juangnya dalam berjuang menegak- kan syariat Islam pada tahun enam puluhan di Kabupaten Kuningan dan Kewadanan Luragung, tepatnya di Desa Cirahayu.
Pada tahun enam puluhan itu, penulis ingat benar, betapa sulitnya rupiah waktu itu, disebutnya juga jaman paila, ekonomi sulit karena masa paceklik, makan pagi, tidak, sore , makan sore, tidak, pagi. Sungguh pedih, mungkin karena usia Negara Indonesia merdeka, baru seusia remaja belasan tahun, atau mungkin pula benarnya khabar bahwa ratusan ton beras dilempar kelaut oleh PKI. (Wallahu `Alam).Yang jelas jaman dahulu berbeda dengan jaman kini, dimana JAMAN KINI teknologi tinggi, segalanya mudah, sekolah pun begitu mudah, tidak sedikit lembaga sekolah “gratis”. karena ada bantuan BOS, KBBS dan sebagainya; gedung-sekolah telah banyak, guru-guru telah banyak,. Dulu, tahun 1960 an jangankan biaya sekolah, untuk makanpun sangat susah, karena itu, untuk membantu biaya, membantu pengadaan sarana dan prasana termasuk untuk memperluas gedung sekolah PGAP harus berusaha sekuat tenaga.
Pak Ikin, berfikir melingkar: Ia mengadakan Tawaf hati berfikir kesegala arah, agar si miskin pun bisa sekolah, walau dirumah hanya bisa makan satu kali dalam sehari, itupun nasi jagung atau kejo oyek (nasi yang terbuat dari singkong ), malah kadang kulit (cangkang) singkong pun dikonsumsi sebagai pengganti nasi, pelepas lapar.
Tekad Pak Ikin : anak-anak adalah generasi bangsa karena itu, sekalipun dari udik dan miskin, mereka harus bisa sekolah, walau tidak disetiap desa ada gedung sekolah. Dari kondisi dan situasi seperti ini, Pak Ikin punya kreatif mencari donasi sambil berda`wah, membuat kelompok hiburan (panggung gembira), anggotanya terdiri dari siswa-siswa PGA dan tokoh masyarakat yang ditampilkan disetiap desa seperti seni drama, seni tari, seni suara dan sebagainya. Penonton harus membeli karcis atau boleh berupa sumbangan langsung untukpembangunan gedung PGA.
Selain dari penjualan karcis (tiket nonton), juga tidak sedikit yang menyumbang dana untuk membuat bangunan gedung PGAP; berupa semen, kayu,dan lain-lain, malah dari warga desa Gunungkarung rela menyumbangkan pohon jati tua yang berdiri di pemakaman desa setempat dan penulis masih ingat, pohon jati itu pernah ditaruh didepan rumah dan teramat besar sampai tidak dapat terangkul oleh dua orang, atau empat tangan.
Nah, itu lah penulis katakan Pak Ikin berfikir melingkar atau towaf hati. Berfikir melingkar maksudnya, dari satu langkah, yakni Panggung gembira, dapat ditemukan beberapa hikmah, diantaranya
1) sosialisasi wajib sekolah, sebagai pengamalan hadits Rasul “ Thalabu al ilmi fariidhatun `alaa kulli muslimin wa almuslimat “
2) mengumpulkan dana untuk sarana prasana PGAP.
3) menghibur masyarakat, yang pada waktu itu (JAman DULu) langka akan hiburan. Tiada TV, tiada VCD, radio pun hanya satu atau dua orang yang memilikinya pada satu desa.
4) melatih mental remaja, untuk bisa tampil di arena.
5) bisa sambil da`wah.
Dalam salah satu drama, penulis pun waktu itu pernah turut diperankan sebagai anak Siti Masithoh yang dilemparkan ke kancah besar berisi air panas oleh raja fir`aun. Raja Fir`aunnya diperankan oleh sdr. Suwali (Pak H. Suwali) yang diwaktu aku kecil kupanggil ia “ma Wali”, kini mantan penilik sekolah. dan Siti Masitoh diperankan oleh Bu Neni Yusnaeni Walaharcageur yang waktu itu menjadi siswa PGAP kelas I.(kini Hj.Neni Guru SD di Jakarta). Si raja Fir`aun adalah, rakus harta, sombong dan kafir, mengaku dirinya sebagai Tuhan, sedangkan Siti Masitoh sebagai pembantunya yang sholehah teguh pendirian akan ketauhidannya, tidak mau mengakui ketuhanan raja Fir`aun selain kepada Allah SWT, siksaan apapun yang ditimpakan kepada siti Masitoh dari raja Fir`aun, iman Masitoh tidak goyah, dan seterusnya… segalanya masih terbayang, berbagai cara yang halal, dilakukan demi mendirikan bangunan gedung sekolah PGAP dan sekaligus da`wah.
Usaha lain, dalam berjuang mendirikan bangunan PGAP, rame-rame para siswa penuh semangat, mengumpulkan/mengambil batu dari cisande, walungan yang melintas disebelah utara Babakan Cirahayu, juga pasir dari Citamiang; batu bareng-bareng dipikul, pasir sama-sama dijinjing, gunakan ember atau dingkul, berulang-ulang, bolak-balik sedikit demi sedikit ramai-ramai, Pak Ikin bersama masyarakat desa Cirahayu dan para siswa-siwi PGA, demi berdirinya sebuah bangunan / gedung untuk tempat belajar. Sungguh haru dan mengesankan bila ku kenang masa silam, ruhul jihad dijiwa mereka benar-benar tertanam, Itulah juangnya jaman dulu. Dan Al hamdulillah, atas jerih payah semua pihak, ahirnya dapat terwujud satu bangunan gedung sekolah PGA yang didambakan, terdiri dari tiga ruang belajar dan satu kantor atau ruang guru dan T.U.
Sayang, bangunan tersebut sekarang sudah berubah wajah, sesuai dengan perkembangan zaman. Semoga saja pahalanya tetap mengalir kepada beliau-belilau yang telah berjasa. Amin.
Lanjut cerita, untuk meningkatkan daya juang sehingga stabilitasi subsidi, organisasi disesuaikan dengan pengaruh politik pada waktu itu, maka, langkah juang Pak Ikin aktif pula sebagai ketua MWT N.U Kecamatan Luragung, berusaha pula menggabungkan PGAP dengan organisasi pendidikan Islam yakni Lembaga .Pendidikan .“ Al Maarif “ N.U Cabang Kabupaten Kuningan , dari itu jadilah dengan sebutan PGA AL MA`ARIF ( 1966 -1968 ).
Pahit getirnya, semangat juang Pak Ikin dalam mencerdaskan anak bangsa selain melalui lembaga pendidikan PGA, juga aktif menghidupkan para pemuda/pemudi di desa, melalui pergerakan Pemuda Ansor yang disebut GP ANSOR dan PATAYAT untuk para pemudinya. Semua kegiatan itu, sampai kini tak pernah lenyap dari ingatanku, segalanya jelas, masih dapat dikenang dan cukup berkesan, walaupun penulis sendiri setelah dewasa mengaktifkan diri di organisasi Islam yang lain, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) organisasi mahasiswa Islam yang indevenden, bukan dibawah naungan N.U. atau PMII. Kami tidak fanatik satu organisasi karena, organisasi hanyalah sebagai wadah atau sarana untuk maju melangkah. Yang penting fanatik keislaman tetap melekat dalam dada dengan jiwa 165 (1 ikhsan, 6 rukun iman dan 5 rukun islam).Dan setelah luluspun penulis pernah turut aktif di organisasi Muhammadiyah.
Salah satu syair karya Pak Ikin yang masih kukenang dengan lirik lagu “ Old lank sine” sebagai berikut :
Kini tiba saatnya tingkatkan kwaspadaan
Hadapilah musuh, musuh Islam anti Tuhan
Disinilah titik tolak perjuangan kita
Sesuai pula dengan nama siswa PGA.
Dan lagi, lagu Mars PGA, dengan syair karya Pak Ikin sebagai berikut :
Mengenangkan nasib perjuangan
Sebangsa dan setanah airku
Aku meninggalkan kemewahan
Aku maju terus menyatu
Jangan … kembali pulang, PGA
Sebelum kita menang
Walau mayat terhampar dimedan juang
Itulah PGA berjuang
Tinggalah ayah tinggalah ibu
Relakan daku pergi berjuang
Dibawah naungan Rabbul alam
Asal agama Islam cemerlang
Masya Allah, kalimat-kalimat dan irama saduran dari lagu MRS PKP ( Perkambungan Kerja Pelajar ) atau entah saduran dari syair dan lagu mars PUI atau entah dari mana, penulis kurang tahu jelas, yang penulis rasakan jelas kalimat-kalimat dengan nada juang diarena PGA pada waktu itu, sangat mengesankan dan rasanya telah membentuk jiwa juang kami.
Subhanallah !.
Sambil mengenang saat-saat yang penuh hikmah itu, sering kudendangkan lagu mars tersebut, sekitar tahun 1998-an, pernah minta tolong kepada seorang rekan guru kesenian di SMPN 5 Kuningan: Pak Edi pada waktu itu, yang kini kepala SMPN Bayuning, maka, terciptalah notasinya seperti dibawah ini dan saya buat pula syairnya dengan maksud sebagai alat penanaman jiwa juang pada arena pesantren kilat. maka, terciptalah “Mars Pesantren Kilat” yang mirip dengan lagu Mars PGA/Mars PKP/Mars PUI (?).
MARS PESANTREN KILAT
Pesantren kilat para pelajar, tegakkan
Program ROHIS jangan diabaikan, bangkitkan
Medan pningkatan ilmu dan amal
Menuju Ridha Allahu Salam
Smangat para pelajar, bangkitkan
Al Quran jadi pedoman
Walau kita berada disgala jaman
Iman Islam ihsan bertahan
Resah munafik dan kemalasan, lenyapkan
Smangat blajar beramal berjuang, tingkatkan
Ridha Alloh slalu dirindukan
Genrasi amar maruf nahi munkar

C. Memetik buah munggaran
Langkah demi langkah terus merangkak, para tokoh jadul terus berteriak mengumandangkan gema PGAP Luragung kepada seluruh peloksok, tak ketinggalan para siswa PGAP terus bergerak meningkatkan prestasinya disegala bidang: olah raga, kesenian, pertanian terus dikembangakan. Ilmu agama, pengetahuan umum dan bahasa terus ditata , walaupun kadang harus belajar sendiri karena tak ada guru… Waktu terus berlalu, masa terus berjalan, siswa bertambah guru pun mulai ada yang definitip (guru tetap). Dari tahun 1963 sampai tahun 1967 lengkaplah sudah PGAP Luragung menjadi 4 kelas: kelas I sampai dengan kelas IV. Para pendiri, tokoh-tokoh Jadul yang dikomandani oleh Bapak O. Shodikin, terus berusaha mencari celah untuk memajukan PGA (Pendidikan Guru Agama). Demikian tutur cerita Pak H. Suwali, BA mantan Pengawas Penda Islam yang sejak 1 Mei 2004 sudah pensiun, beliau adalah salah seorang alumni pertama dan tertua dari PGA 4 Th Luragung.
Dengan senyumnya yang has, dan terlihat keriput pipinya gambaran perjuangan masa silam, Pak H. Suwali, BA yang jaman dulu, dimasa kecil penulis memanggilnya Ma Wali, melanjutkan ceritanya :
“Pada pertengahan tahun 1966 pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mengikuti ujian Calon Guru Agama (Cagura) dengan persyaratan mempunyai ijazah SD/SR dan pernah masantren minimal 6 tahun serta sudah dewasa. Para Pembina PGA tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Siswa yang pada saat itu baru kelas III PGA, dipilih yang sudah dewasa agar mengikuti ujian Cagura. Tepatnya pada tanggal 25 s/d 27 Oktober 1966 dilaksanakan, ada sekitar 17 orang yang mengikuti ujian Cagura termasuk Pak Suwali. Lama tak ada kabar berita, lanjut cerita Pak H.Suwali, dan memang siswa pun tidak mengingat-ingat bahwa mereka pernah mengikuti ujian untuk menjadi Guru Agama, tidak ada tuntutan apa-apa, ‘kumaha diaturna bae ku para sesepuh sareng para pejuang PGA’ lanjut keterangannya terselip Bahasa Sunda dengan lugot Desa Cirahayu yang khas. Akhirnya, pada pertengahan Mei 1967 dan saat itu Pak Suwali dan kawan-kawannya sudah duduk dikelas IV PGA, mereka yang dipilih mengikuti ujian cagura mendapat ijazah tanda lulus ujian Cagura yang dikeluarkan oleh Departemen Agama Pusat. Kemudian pada bulan Agustus 1967 siswa kelas IV PGA yang disebut PGAP Al Ma’arif di desa Cirahayu itu mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh PGAN 4 Th Cirebon sebagai ujian Akhir, ujian dibagi dua tahap yaitu, ujian sekolah untuk menentukan siapa yang berhak mengikuti ujian Negara. Ujian sekolah dilaksanakan pada tanggal 12 s/d 23 Oktober 1967, kenang Pa H. Suwali.
Akhirnya, dengan tidak diduga dan tidak disangka-sangka para siswa yang pernah mengikuti ujian Cagura mendapatkan SK pengangkatan dari departemen Agama Pusat untuk menjadi guru Agama SD berikut SK mengajar dari Departemen Agama Kabupaten Kuningan. Begitu mudahnya pada saat itu untuk menjadi PNS, walaupun pangkat dan golongan ruang gaji yang paling rendah (Golongan Ib), saya dan rekan-rekan merasa sangat bahagia, jelas Pak H.Suwali mensyukuri. Ia melanjutkan ceritanya dengan raut muka bahagia, sesekali lempar senyuman seraya mata memandang keatas, nyoreang nyawang (mengenang masa silam). Ketika menerima SK menjadi Guru Agama kami asa kagunturan madu tiba-tiba datang lagi pengumuman pelulusan ujian Negara yang diselenggarakan di PGAN 4 Th Cirebon , Al Hamdulillah dari 27 siswa yang mengikuti ujian Negara lulus semua, kecuali 2 siswa dikarenakan sakit dan tidak hadir pada pelaksanaan ujian. Lanjut beliau, inilah “buah munggaran” yang dihasilkan oleh PGAP Luragung, hasil jerih payah para tokoh Jadul; selain itu, mereka ada juga yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu PGAA (Pendidikan Guru Agama tingkat Atas) atau disebut PGAN 6 Th di Cirebon.” Demikian kenang Pak H. Suwali ketika diwawancarai.
PGAN 6 Tahun itu, kini menjadi Madrasah Aliyah. Namun Pa Suwali sendiri, sementara itu, memilih menjadi guru agama SD Luragung 3, beliau tidak melanjutkan ke PGAA karena…’tidak mempunyai biaya’ katanya berbisik, dan tersenyum.
Walaupun begitu, akhirnya dia sukses mengikuti ujian Extranei PGAN 6 Th pada September 1971 sehingga mutasi menjadi GPAI SMPN 1 Luragung yang kemudian bisa melanjutkan kuliah di IAIN ‘Sunan Gunung Jati’ Bandung sampai lulus sarjana muda tahun 1976. Tahun 1982 beliau menjadi Pengawas PAI untuk wilayah Kecamatan Luragung sampai pensiun 1 Mei 2004.
Itulah salah satu cerita buah munggaran sebagai hasil pertama perjuangan jadul. dan mereka menjadi kader calon penerus yang akan melanjutkan perjuangan para tokoh Jadul. Insya Allah. Terang Pak H.Suwali mengahiri obrolannya.
D. Pemerintah menyambut perjuangan tokoh jadul.
Lanjut cerita “ketika Jadul berjihad”, pada tanggal 1 Januari 1968 PGA ALMA`ARIF dinegerikan menjadi PGA NEGERI maka, tanah yang sudah dimiliki oleh PGA AL MA`ARIF itu beralih status kepada Negara “seluas yang dibangun gedung”, adapun sisanya oleh Bapak Kuwu Suparma, diserah-terimakan kepada Pak Ikin, pendiri PGA tersebut, demi suksesnya perjuangan mendirikan lembaga pendidikan agama Islam di kecamatan Luragung yang bertempat di desa Cirahayu, untuk terus tanpa batas usia, melanjutkan perjuangannya dalam pengembangan pendidikan, pengajaran agama Islam.
Rencana jadul (Pak Ikin) dengan Bapak Kuwu Suparma, walau pun PGAP telah dinegrikan, mereka tetap akan berjuang menuntaskan cita-citanya yang belum terwujud yakni, membangun pondok pesantren malah sampai ke perguruan tinggi.
Semula, tanah yang direncanakan akan diusahakan menjadi lahan juang: dari gedung PGAP yang telah menjadi PGAN itu, sampai ke ujung utara lapangan sepak bola yang pada waktu itu di depan SDN Cirahayu ada lapangan Sepak bola. (Lapangan itu kini telah dipindahkan ke sebelah timur SD tersebut). Penulis pun pernah melihat gambar denah/tata letak rencana bangunan ponpes tersebut…. Stop. Sampai disini saja dahulu cerita tentang gambar denah itu karena, gambar itu kini entah kemana sepeninggal mereka.
Berikut ini para kepala sekolah PGAP/PGA Al Ma`arif dan PGA Negeri dalam kenangan yang kemudian mulai tahun 1979 alih nama menjadi MTsN sesuai program Negara maka, dilanjutkan dengan kepala MTsN sampai sekarang, saat ditulisnya kenangan ini; jelasnya, dari 1963 sampai tahun 2009 sudah ada 13 kepala sekolah yaitu,
1. Bapak O. Shodikin : Kepala PGAP / PGA Al Ma`arif ( 1963 – 1968 ).
2. Bapak O. Zakariya : Kepala PGAN 4 Th ( PJS ) (1968 – 1969) Beliau merangkap sebagai Kepala Kandepag Kab. Kuningan
3. Bapak Ahmadi, B.A.: Kepala PGAN 4 Th . ( 1969 – 1974 ) .SK Dirjen Bimas Islam Jakarta.
4. Bapak Gholib R.B.A. : Kepala PGAN 4 Th. (1974 - 1981) Surat Tugas dari Kepala Perwakilan Depag Propinsi Jawa Barat.
Kemudian, pada tahun 1979 PGAN berubah status jadi MTsN.
Selanjutnya, setelah menjadi MTsN dilanjutkan kepala sekolah dilanjutkan oleh:
5. Bapak H. Ahmadi, BA/Bapak H.Majid As `Ari, Kertayasa,Kepala MTsN tahun 1981- 1987
6. Bapak Drs. Iyong R.A.G, Kepala MTsN tahun 1990-1996
7. Bapak Ukata, Kepala MTsN tahun 1996-1998
8. Bapak H.Sanuddin,S.Ag Kepala MTsN tahun 1998-2003
9. Bapak Drs.M.Salim,M.Pd Kepala MTsN mulai Bulan Agustus s/d Desember 2003 karena Almarhum.
10. Bapak Sakum,BA Kepala MTsN tahun 2003-2004
11. Bapak Drs. S.A.Sudrajat Kepala MTsN, tahun 2004-2005
12. Bapak Drs.Wahid Tbk Kepala MTsN, tahun 2005-2009
13. Bapak Dadang Budihartono, S.Pd, Kepala MTsN, tahun 2009 sampai sekarang saat ditulisnya kisah kenangan ini masih dipimpin Pak Dadang. (Data dari MTsN Luragung di Cirahayu langsung bersama Pa Dadang, Kepala MTsN)
E. Perhatian Dari Pemerintah Desa
Ceritera Jadul, menoleh kembali ke tanah yang diserah-terimakan Pak Kuwu Suparma -kepala desa Cirahayu waktu itu- kepada Bapak Ikin/pendiri PGA tersebut, ketika alilh status jadi PGA Negeri, yang mana mereka mengharapkan berlanjutnya pendirian lembaga pendidikan agama Islam di desa Cirahayu sampai seoptimal mungkin. Maka, disamping lahan itu, didekat gedung sekolah, ada lahan milik pak Usman Darmin maka, untuk memudahkan langkah juang, dengan persetujuan bersama dioper-lah lahan pak Usman Darmin itu dengan tanah sawah Pak Ikin yang telah lama dimiliki yakni tanah pesawahan yang terletak lebih kurang 200m dari sebelah utara SDN 1 Cirahayu. Kemudian dikarenakan tanah lahan Pak Usman Darmin lebih luas, maka ditorog dengan 2 akar atau 2 x panen. Ahirnya, kedua lahan hak pak Ikin terpadu, menyatu untuk memudahkan langkah juang kedepan. Hidup adalah perjuangan, berjuang melawan kebathilan, berjuang mendirikan pendidikan, pendidikan yang bernafaskan Islam, pendidikan adalah modal dasar estafeta perjuangan” itulah misi ayahanda yang sering kudengar langsung dalam obrolan keseharian dirumah, maupun di sekolah.
Memang benar, dan penulis yakin, anda pun, pembaca, sangat setuju bahwa “Pendidikan itu modal utama, pundamen masyarakat, pendidikan adalah pola pembangunan masyarakat, dan pendidikan adalah lembaga pusat kebudayaan, pendidikan ujung tombak pembentukan karakter kader bangsa, karena itu, betapa pentingnya upaya mendirikan lembaga pendidikan sampai kapanpun, terutama pendidikan Islam, dimana Islam sebagai ‘way of life"
Berkat kedekatan Bapak Ikin dengan pemerintah dan masyarakat desa Cirahayu, sejak Bapak Kuwu Suparma sampai dengan Kepala desa yang sekarang sangat mendukun terhadap rencana pendirian lokasi PGA menjadi komplek lembaga pendidikan termasuk pondok pesantren.
Hal ini terbuti dengan adanya lembaga pendidikan yang didirikan disekitar lingkungan bekas PGA dulu.
1. Telah berdiri SMAN disebelah timur komplek PGA diatas tanah bengkok. (tanah hak desa yang diperuntukan kepada para pamong desa sebagai alat kesejahteraan para pamong).
2. Telah adanya MAN disebelah barat, di tanah masyarakat yang dibeli oleh para tokoh agama Kecamatan Luragung yang kemudian diwakafkan untuk lembaga pendidikan agama Islam.
3. Adanya SLB dan SMK di sebelah selatan yang nyambung dengan lokasi SD.
Keadaan diatas membuktikan adanya perhatian dari pemerintah desa Cirahayu terhadap rencana para tokoh jadul. Hanya satu yang sat ini belum terwujud dan semoga dimasa yang akan datang bisa terwujud yaitu berdirinya lembaga pendidikan PONDOK PESANTREN.
F. Tokoh Jadul Pulang Kampung, Perjuangan belum berakhir
Pak Ikin berniat melanjutkan perjuangannya walau telah pensiun dari PNS. Dia berniat ingin mendirikan Pondok Pesantren sebagai tempat Pendalaman Pendidikan Agama Islam. Pengajaran dan Pengamalan Agama Islam utamanya untuk siswa PGA yang kini MTs, SMA dan SD disekitar itu, terlebih sekarang telah berdiri MAN (Madrasah Aliyah Negeri) dan menyusul pula di desa cirahayu itu, berdiri SMK dan SLB berbagai jurusan; sunggguh khabar yang menyenangkan namun rasanya belumlah lengkap kalau tak ada pondok pesantren.
“ Para siswa sebagai bunga bangsa, agar tidak membuang-buang waktu usai sekolah dengan bermain-main yang tidak karuan: gaplehan, main pinci, ngadu karet dan sebagainya yakni permainan yang kurang bermanfaat dan Semua itu, akan lebih tepat jika para siswa pulang sekolah terus ke pondok, belajar ngaji: Al Quran, kitab kuning dan beberapa kegiatan yang bermanfaat demi masa depannya dan masa depan bangsa”. Hayalan itulah dalam harapannya yang sampai ditulisnya kisah kenangan ini (tahun 2009), belum juga terwujud.
Beberapa tahun setelah pak Ikin pensiun dari PNS, Allahu Al Qadir menghendaki istrinya, tutup usia setelah beberapa tahun ayahnya pak Ikin pun berpulang ke Rahmatullah di Desa Walaharcageur. Agaknya dalam posisi situasi seperti ini, sepeninggal istri, Pak Ikin kembali berfikir melingkar :
* Ingin merawat ibunya (neneku) yang tinggal sendiri setelah ditinggal wafat kakek.
* Sekaligus di desa nenek tersebut yakni Desa Walaharcageur, dapat turut membangun, dan kembali berjuang mengembangkan pengajaran dan pendidikan agama Islam di tanah kelahirannya.
* Memberi kesempatan kepada putra/putinya, anak didiknya, abituren PGA sebagai generasi penerus yang mau berjuang melanjutkan hanca perjuangan.
* Diharap putra-putri ayahanda menyatukan kalbu, menyamakan langkah, berjuang melanjutkan amanat, saling tolong-menolong, bantu membantu, hormat menghormati tanpa merugikan yang lebih berhak.
* Tetap memiliki tempat perkumpulan keluarga besar pak Ikin dan atau beserta para alumni/abituren PGA di desa tersebut serta bisa melanjutkan jalinan silaturahmi dengan desa tercinta itu dan juga dengan para alumni PGA.
Dari pemikiran itulah maka, ia berpindah ke desa Walaharcageur, dan takdir pun menentukan ia menjadi kepala desa. Maka, lengkaplah penunjang langkah juang di desa tersebut untuk pengembangan penyebaran pengamalan agama Islam di desa kelahirannya, Walaharcageur.
Akhirnya, langkah Jadul di tanah kelahirannya, memang cukup sukses, beberapa langkah baik bidang mental/spriritual maupun bidang pembanguna fisik, seperti penulis lihat pada lampiran tentang “ Map Memori Pembangunan Desa Walaharcageur: 1986-1994 diantaranya adalah, pembangaunan masjid desa yang dinamakan masjid “At tawwabiin”, pengaspalan jalan dan gang, rehab gedung SD, merebaknya kemajuan karang taruna sampai pernah jadi juara dan lain-lain.
Namun disi lain, sejak itu, rencana,harapan dan cita-cita membangun ponpes di desa Cirahayu seolah terhenti: pak ikin pada suatu saat, ditengah perjuangannya di desa Walaharcageur, ia pernah berkata kepada putra/putrinya untuk dapat melanjutkan cita-cita dan harapannya mendirikan ponpes didesa Cirahayu; karena itu, pak ikin menyerahkan tanahnya (lahan) yang berada disebelah selatan gedung MTsN itu kepada putra/putrinya, kecuali lahan sebatas bangunan rumah itu yang telah menjadi hak milik putranya yang ketiga: “Ceshon” karena dibelinya. Dan untuk ketertiban maka pak Ikin menganjurkan agar lahan itu dibuat sertipikat.
Ketika akan membuat sertipikat tanah itu, putra/putrinya bersepakat dengan tidak dibagi 4 walau ada 4 putra/putri pak Ikin, namun mereka bersepakat dengan menggunakan nama salah seorang saja yakni dari putra ketiga yang memiliki tanah/rumah disekitar lahan itu. Maka, dengan kesepakatan bersama jatuhlah nama untuk sertipikat tanah itu dengan menggunakan atas nama putranya yang ke 3: Cecep Shofyan Nasrulloh. Dengan alasan beberapa sebab:
a. Secara kebetulan cecep ada rencana mau membuat sertipikat rumahnya yang berada disekitar tanah/lahan itu.
b. Mengambil satu dari empat saudara atas persetujuan bersama.
c. Irit biaya pembuatan sertipikat, kalau dibagi empat maka biaya pembuatan sertipikat 1 X 4
Putra putri pak Ikin telah bersepakat tidak akan menjual lahan yang telah dihibahkan itu, kecuali lahan yang ada bangunan rumah yang telah menjadi hak milik Cecep, itu mah lain masalah, terserah si pemilik.
Mengapa dikatakan telah “dihibahkan” bukan dengan istilah “diwariskan”? sebab lahan itu telah diserahkan kepada putra/putrinya sebelum ayahnya meninggal. Sedangkan, yang dikatakan “warisan” adalah bila pada waktu itu sipemilik telah meninggal dunia.
Soal istilah warisan ataupun hibah, dalam kisah ini tak jadi masalah. Yang jelas, kami putra/putri Pak Ikin (Nunung, Uud, Cecep, Natsir) bersepakat tidak akan menjual lahan tersebut. Mengapa? Sebab kami putra/putrinya bersepakat pula ingin melanjutkan harapan yang belum terwujud: harapan pak Ikin, harapan Pak Kuwu Suparma, harapan semuanya.






Kemudian, beberapa tahun setelah nenek meninggal, ayahanda yang kuhormati, kudambakan dan yang mempercayakan kepada putra/putrinya sebagai pelanjut harapan di desa cirahayu, itupun, akhirnya, diambil oleh Yang Maha Kuasa, tepatnya pada hari Jum`at 14 Juli 1995 ia pergi ke alam Baqa.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu hingga berpuluh-puluh bulan lewat, belasan tahun dilalui… rencana mewujudkan harapan ayah belum terlaksana. Dana belum ada. si kembar, 2 putra pertama Cecep dan 2 putra dari Nunung saat ini, masih menuntut ilmu di Ponpes Modern Gontor Ponorogo. Sampai tahun dua ribu, Lahan itupun masih belum bermakna, kecuali rumput ilalang tumbuh tak teratur dan tak terurus. Rumah Cecep yang berada disekitar lahan itu pun, hancur tidak karuan karena kosong tidak ada yang menempati, ahirnya semua tanah menyatu; itu tak masalah. Tekad dihati Cecep adiku dan A Uud Kakakku tak pernah pudar, walau ayahanda telah meninggal; dihati nuraniku pun masih tertanam semangat juang walau belum melangkah karena masih taraf pengumpulan dana dan tenaga.
Namun…bagai petir disiang hari, laksana panah menusuk hati, kaget dan pedih, beberapa tahun kemudian setelah ayah meninggal, adik yang kudambakan yang siap melanjutkan perjuangan, yang sangat dipercaya akan satu langkah satu irama satu cita-cita dengan saudara-saudara…, ia lebih cepat diambil oleh Yang Maha Kuasa. “…innalillaahi wa inna ilaihi raaji`uun…” Kalimat dari firman Allah Q.S Al Baqarah ( 2 ) : 155 - 157 : itu harus kuakui,harus ku imani, dan harus kusadari bahwa semua makhluk termasuk adiku cecep berasal dari Allah dan akan kembali kepadaNya. Allahu Akbar.
Hanya Allah lah yang Maha menentukan segalanya. Manusia hanya dapat berencana, Allah Maha Menentukan. kandi yang berada disisi almarhum adiku juga ternyata bukan srikandi muslimat yang memiliki ruhul jihad. Ia bukan jiwa wanita yang mau berfikir melingkar dalam melangkah, ia hanya dapat berbicara dengan hatinya sendiri, dengan kemauannya sendiri, semboyannya: “BISNIS” “ dalam bisnis tak ada kata famili.”. itulah prinsifnya yang telah mendarah daging sehingga menjadi visinya dalam setiap langkahnya… Ia tidak mau tahu cerita cronologis lahan dengan sertipikat atas nama, suaminya itu.
Betapa sedih hati ini ditinggal ayah dan adik yang semangat juangnya di alam fana selalu terbina dan sukses, namun belum terwujud membuat ponpes di desa Cirahayu seperti yang mereka dambakan.
Astaghfirullah Al Adziim.
G. Jadul berganti Jani
Pada suatu hari, hari Jum`at sekitar bulan Mei 2009 jam 14.00 rupanya bunyi suara panggilan di hpku tak kudengar, sebab, tengah asyik diri ini membaca masa lalu yang pernah kutulis dua tahun yang lalu. Ketika mau kuambil sebuah bulpoin di tasku. kulihat ada “panggilan tak terjawab” di hp itu, kubuka, ternyata dari sahabat lama, empat puluh tahun yang lalu kaka kelasku di PGA. “DJAFIN” itulah nama yang muncul sesuai yang kutulis di memori`s saving pada hp itu, singkatan dari Djaenal Arifin, nama seorang alumni PGA yang telah sukses hingga menjadi kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten.
Penasaran, ada apa gerangan (?), akhirnya kukirimkan sms: “ Rupina aya peryogi, kang Haji?” tulisku dalam bahasa sunda. Ahirnya, beberapa detik kemudian ia menelponku lagi: “Teteh, enggal diantos, nuju kumpul yeuh abituren PGA di bumina ceu Een, aya mang Birin,aya Kang Lukman, ceu Ida, ceu Hindun dan lain-lain” suara kang Arifin terdengar lirih, syahdu tercermin dari pribadi yang lugu dan super tawadhu.
Belum sempat kujawab suara itu, menyusul suara yang lebih akrab: “He geuwat Nung, kadieu ngariung yeuh,ek ngarencanakeun reuni PGA” suara yang lebih wanoh itu tak ku tahu suara siapa, yang jelas dia pasti kawan lama dari PGA sekitar tahun 1967 sampai 1979an. Akhirnya kuturuti ajakannya, tak lama kemudian aku turut berkumpul disana.
Rasa bahagia bercampur sedih penuh kerinduan dan kekaguman, bercampur, bergelora dalam dada, rasa tangis berusaha kupertahankan Jangan cengeng!, pikirku. toh aku bahagia, kini dapat berkumpul dengan kawan lama yang telah sukses yang Insya Allah akan mengantarkan ke jenjang pertemuan yang lebih besar pada arena reuni bulan syawal.
Bayangan masa silam tak dapat kulenyapkan, aku sedih, mengingat masa silam yang indah bersama ayah-bunda: aku turut menyaksikan susah payah mereka dalam mendirikan PGA. Kini, mereka, telah tiada …namun bukti keberhasilan pendidikan telah nyata, walau nama sekolah PGA telah tiada. Kerinduan masa silam yang tak mungkin dapat ku-ulang, disini, tangisku tak dapat kubendung, air mata mengucur deras mengalir membasahi pipi -yang tengah nyaris keriput ditelan waktu- seraya kagum dengan para mantan siswa PGA yang telah sukses. Malah, lebih dari itu, mereka, ihkwan/akhwat yang telah sukses ini memiliki cita-cita melanjutkan langkah juang “jihad nya jadul”: mendirikan Pondok pesantren. dan Perguruan tinggi, disisi sekolah-sekolah yang kini telah ada. Semua itu demi mencetak generasi bangsa yang berakhlaqul Karimah. Subhaanallah!
Semoga cita-cita para abituren PGA itu sukses dengan lancar tanpa rintangan. Amiin.
JANI (jaman kini) atau bisa jadi Jaringan Alumni Nan Islami, rupanya akan mulai merangkak, melangkah, menata masa depan anak- cucunya. Jani, semoga lebih sukses dari Jadul. Jani sebagai bukti manfaat berjihad mendirikan lembaga pendidikan. Bagaikan menanam pohon jati walau usia berubah ditelan waktu, pohon jati semakin tua semakin kukuh dan bersatu menopang bangunan untuk generasi bermutu.
Selasa, tiga Syawal 1430 H/22 September 2009. terwujudlah RE-UNI para alumni PGA Luragung di Cirahayu dari tahun 1967 s.d. 1979, sekaligus pembentukan dan pelantikan suatu pengurus organisasi para alumni PGA agar langkah pengembangan sayap juang terbina dan terjelma.
Organisasi atau lembaga apapun namanya, siapapun pengurus/pengolahnya, semoga benar-benar berlanjut, giat, tabah dan sukses, dengan langkah juang penerus jadul pewaris nabi mendirikan suatu wadah demi tegaknya amar maruf nahi munkar, demi generasi bangsa, generasi Qurani, generasi yang militan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar