KETIKA JADUL BERJIHAD



$
JADUL DAN JIHAD

      Penulis mengenal nama orang “Jadul Maula”, lengkapnya M.Jadul Maula dari internet dalam tulisan hasil diskusi ilmiyah berjudul : Masa Depan Pemikiran Islam, Teater Utan Kayu, 5 Maret 2005, ia adalah seorang pemikir Islam yang menjadi nara sumber pada diskusi itu beserta Ulil Abshar-Abdalla, Fachry Ali, Amin Abdullah dengan moderator Luthfi Assyaukanie. Namun yang dimaksud “jadul” pada tulisan dalam buku ini bukan semata-mata nama orang, akan tetapi nama singkatan. (mohon maaf kepada Yth.M.Jadul Maula)
      Pada abad milenium ini agaknya sudah cukup lazim orang bilang dengan sebutan “jadul” dengan maksud mengatakan jaman dulu atau jaman dahulu. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia: “jaman atau zaman”, yaitu dengan jangka waktu yang panjang atau pendek  yang menandai sesuatu.  dan yang dimaksul “dulu” sama dengan dahulu yakni (waktu) yang telah lalu atau (masa) lampau .
      Dari pengertian diatas, yang dimaksud jaman dulu (jadul) adalah sesuatu  yang terjadi pada masa lalu. Jelasnya, yang dimaksud “jadul” sebagai judul dari karya tulis ini  adalah  seseorang  yang menjadi   tokoh suatu peristiwa atau kejadian atau boleh dikata tokoh sejarah perjuangan zaman dahulu, tepatnya yang terjadi, atau dimulai berkiprah pada tahun 1962.   Pada    tahun     itulah,   detik -  detik dimulainya timbul ide /langkah untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan. Pada arena jadul itu para siswa, pemuda/pemudi, sarat “Ruuhul Jihad” yang tinggi . itulah jadul (Jaman dulu).
      Sedangkan kata Jihad berasal dari Bahasa Arab.Untuk memahami arti kata jihad, dalam Kamus Al Munawwir  Arab –Indonesia Terlengkap, Ahmad Warson Munawwir, (1997): Jihad dari akar kata “al jahdu atau al juhdu yang artinya kekuatan atau kemampuan, kemudian jaahada, yang berarti mencurahkan segala kekuatan dan al jihaadu artinya perjuangan. Orang yang melakukannya disebut al mujaahidu artinya pejuang, prajurit
      Adapun arti jihad menurut istilah, penulis mengambil pendapat K.H.Achidin Noor, MA dalam makalahnya “Jihad yes, Teroris No” : Jihad  adalah : “Mencurahkan segala kemampuan atau tenaga dalam mencapai  apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. Dan secara khusus jihad berarti mencurahkan segala upaya (harta dan jiwa) dalam peperangan untuk meninggikan kalimat Allah (agama-Nya)   

      Hemat penulis, yang dimaksud “dalam peperangan” dari pengertian jihad tersebut, bukan hanya peperangan dengan angkat senjata berupa pedang, pistol, bambu runcing dan lain-lain, tapi berperang melawan hawa nafsu pada diri sendiri seperti nafsu ingin  menjadi orang terkaya, tergagah, terpandai, terkenal tanpa berfikir melingkar atau memasa bodohkan nasib orang lain yang memerlukan pertolongan sehingga, dirinya egois. Jihad melawan hawa nafsu egois itulah termasuk perang yang tidak kalah beratnya dibanding perang dengan menggunakan  senjata.
      Jihad adalah merupakan tugas hidup manusia di dunia dimana Allah SWT telah menjadikan manusia itu sebagai kholifah di muka bumi.  Dari itulah, Q.S.Al Furqon:52 yang artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar”. Ayat ini menjadi pola pikir langkah jadul yang insya Allah akan dilanjutkan oleh jani (jaman kini) sebagai titisan langkah juang jadul. Amin.
      Hidup adalah perjuangan. Berjuang dijalan Allah; berjuang  menegakkan syariat Islam, me-numbuhkan dan membina generasi bangsa agar bertaqwa, itu adalah salah satu langkah jihad.
      Contoh lain, gerakan yang kini tengah populer, langkah juang dan cita-cita DR. Ary Ginanjar Agustian yang mencanangkan Indonesia “emas” tahun 2020 dengan membumikan asmaul husna melalui ilmu pengetahuan barunya: “ilmu jiwa Asmaul husna” dan penanaman tujuh budi utama –jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerja sama, adil, peduli- melalui pelatihan-pelatihan ESQ dari Sabang sampai Meroke, malah sudah menjelajah ke luar negeri, itulah jihad.
      Bahkan bagi umat Islam, setiap langkah berupa usaha apapun jika langkah/usaha itu berlandaskan 165 yakni, ihsan (1), iman (6 rukun) dan islam (5 rukun)  maka itu bermakna jihad. Sekalipun itu adalah sopir angkot atau supir bis atau si bibi yang mencari nafkah demi  anaknya yang sedang sekolah dengan dagang sayuran, sorabi, goreng dage/tempe atau apapun selama pekerjaan mereka berlandaskan 165 maka ia berjihad. Demikian juga petani, pedagang, pelayan atau pengusaha lainnya selama usaha tersebut berlandaskan 165, itulah jihad. Untuk itu, mari kita mengingat kembali apa itu ihsan, iman dan islam.
      Ihsan ( Bahasa Arab) asal kata dari hasanah yang artinya “memperbaiki”. Ihsan maksudnya, berbuat baik kepada sesama makhluk Allah  dan  berbuat baik kepada Al Khaliq  yang menciptakan seluruh alam dan seisinya, yakni Allah Shubhanahu wa ta’ala. Dimanapun, kapanpun, dalam situasi dan kondisi apapun harus dengan cara yang baik. Rasulullah Saw. bersabda: “ihsan ialah kamu beribadah kepada AllAh seperti kamu melihat-Nya, jika kamu tidak melihat-Nya maka Allah tetap melihatmu(h.r. Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i).
      Makna “ibadah” dari hadits tersebut jangan diartikan secara sempit sehingga hanya sholat, zakat dan puasa saja yang termasuk ibadah tapi, ibadah adalah pengabdian kepada Allah Swt. apapun bentuknya.
      Hadits tersebut juga mengingatkan kita bahwa, Allah Al Bashir, Allah Maha melihat, niscaya setiap langkah/usaha kita adalah termasuk jihad karena itu, berusahalah langkah usaha kita agar dengan cara  yang ma’ruf, tidak dengan menyakiti seseorang, karena itu, hendaklah pada setiap langkah usaha harus terlebih dahulu “berfikir melingkar”.
Contoh “berfikir melingkar”: jika anda seorang usahawan  mau membuat bangunan perumahan, atau membangun sebuah pabrik, atau apa saja, sekalipun itu bangunan mushalla, lihatlah dahulu kanan kiri anda apakah ada yang tidak setuju dengan langkah anda, kalau ada, apa alasannya, dekati dia, silaturahmi dan bermusyawarahlah dengan cara yang baik; apalagi jika lahan yang akan dibuat bangunan tersebut berupa tanah wasiat atau tanah warisan, atau, sekalipun itu lahan milik pribadi, tetapi toh hidup disekitar itu tidak sendiri. Disamping itu perlu pula melihat orang miskin disekitar kita dan saudara-saudara kita yang membutuhkan pekerjaan dan perlu dibantu  maka, bisa saja dia diajak kerja sama saling tolong-menolong. Niatkan dan kondisikan pada setiap langkah usaha, tidak sambil menyakiti atau apalagi jika merugikan orang lain. Binalah pekerjaan yang ihsan, agar niscaya Allah SWT. meridhoinya. Singkatnya, “kepedulian” harus selalu terbina pada jiwa orang  yang  berfikir melingkar, itulah langkah orang ikhsan. Orang ikhsan tidak egois. Kata orang jawa: “tidak se-enak udele dewek”. Kata orang sunda: “henteu kumaha cek aing”. sebab ia yakin sang Maha menilai (Allah) selalu mem-perhatikan pada setiap  gerakannya. Disamping itu, perlu diingat pula bahwa setiap langkah atau usaha sekalipun baik belumlah dapat dikate-gorikan “jihad” jika usaha yang dilaksanakan dengan cara yang baik itu tidak berlandaskan 6 rukun iman (beriman kepada Allah, malaikat-malaika-Nya, Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat serta Qadha dan Qadar dari Allah) dan 5 rukun Islam (Syahadat,  Sholat, zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan dan beribadah haji bagi yang mampu).              



»»»»
R

FUNGSI DAN TUGAS MANUSIA


      Dari sejak jaman dahulu sampai jaman kini dan jaman yang akan datang, dari sejak manusia pertama (Adam a.s), sampai manusia terakhir, tugas manusia di dunia itu pada dasarnya sama, yakni “mengabdi” kepada yang Maha menciptakan (Al Khaliq), Allah Subhanahu wa ta`ala. 


Dan Aku tidak  menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (Q.S.Adz- dzariyaat: 56).
           
      “Mengabdi” kata dasarnya “abdi”, yang artinya orang bawahan, pelayan, hamba; dan mengabdi artinya menghambakan diri atau berbakti. Dari ayat diatas, jelaslah bahwa tugas manusia adalah berbakti kepada Allah Swt: Menjauhi segala larangan-Nya dan menjalan-kan segala perintah-Nya.
      Untuk pengembangan pemahaman tugas manusia sebagai kholifah di muka bumi dan untuk menanamkan ruhul jihad pada generasi bangsa maka, betapa pentingnya peran lembaga pendidikan. Allah berfirman:   



 
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur( Q.S. An Nahl (16):78).


“Dan dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. amat sedikitlah kamu bersyukur” (Q.S. Al Mu`minun (23): 78)

      Kata “bersyukur” pada kedua ayat diatas, ialah harus dapat menggunakan alat-alat pemberian Allah Swt yang terdapat pada manusia berupa panca indra: pendengaran, penglihatan dan hati agar digunakan untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan Allah, yang dapat membawa dirinya beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya.
      Salah satu contoh kecil: kita diberi pendengaran sehingga dapat menikmati alunan musik yang begitu merdu diringi cuaca sore yang syahdu, sungguh membuat  hati ini terasa tentram, damai dan nikmat. Dari mana kita bisa mendengarkan  musik yang merdu itu, kalau bukan pemberian dari As Sami’, Yang Maha Mendengarkan. Siapakah As Sami’ itu ? Jawabannya tentu Allah Swt. sang  pemilik Asmaa’ul Husna. 
      Pemandangan dunia yang begitu indah baik siang  dengan pepohonan yang tumbuh dan pe-gunungan yang menjulang, maupun malam dengan kelap-kelip bintang dan berbagai macam keindahan lainnya, semuanya dapat dinikmati manusia. Lantas siapakah yang memberikan mata sehingga bisa melihat keindahan dunia ini kalau bukan Al Bashir (yang Maha Melihat)? Siapakah Al Bashir itu? Jawabannya tentu Allah Subhanahu wa ta’ala Sang Pemilik As Maa’ul Husna. 
      Telinga, mata dan hati perlu dibimbing, dibina dan diarahkan dengan ilmu pengetahuan yang benar sehingga bermanfaat; karena itu bisa bersyukur. Orang yang bersyukur, kenikmatan-nya akan bertambah tapi bagi orang yang tidak dapat mensyukuri nikmat, alias kufur nikmat, maka baginya adzab dari Allah Swt.  akan lebih pedih.
      Memperhatikan uraian diatas, betapa pentingnya keberadaan suatu lembaga pendidikan. Mendidik adalah membiasakan langkah dan ucapan serta tingkah laku yang benar. Dalam mendidik tentu ada mengajar. Mengajar adalah menularkan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru kepada anak didiknya. Mengajar dan mendidik adalah dua kata kerja yang integral, tidak dapat dipisahkan salah-satu diantara kedua kata itu, dalam proses untuk mencapai derajat “bersyukur”.
      Mendirikan lembaga pendidikan adalah menyedia-kan suatu wadah atau tempat untuk membina generasi bangsa, agar bisa meng-gunakan panca indra dan semua anggota badan yang dimilikinya  kearah yang benar sesuai ridha Allah Swt. Tanpa adanya lembaga pendidikan, ilmu yang dimiliki manusia tidak akan berkembang. Dan ruhul jihad pun tidak akan tertanam pada generasi berikutnya.
      Jihad merupakan perbuatan ihsan (=baik). searah dengan itu, maka, Jihad merupakan salah satu fungsi dan tugas manusia, yakni berjuang untuk berbuat baik diatas dasar iman dan  Islam. Ada kepedulian terhadap generasi bangsa seperti dengan mendirikan sekolahan atau pondok pesantren, itu adalah salah satu jihad fii sabiilillah, dan itulah salah satu pengabdian kepada Allah SWT.
            Kembali mengamati arti jihad seperti yang diuraikan pada fasal sebelumya dengan menggabungkan arti mengabdi sebagai tugas manusia atau disebut juga  ibadah maka 1, 6, 5 (ihsan, iman, islam) adalah tiangnya agama. sedangkan jihad adalah bangunannya dan ibadah adalah merupakan bahan-bahan untuk bangunan



»»»»»

?LANGKAH JUANG JADUL
           
      Pahit getir, langkah juang, suka cita para pendiri PGA, pada waktu itu, terekam  oleh hati dan fikiran si gadis kecil, putri dari salah satu tokoh jadul yang menjadi pusat sentral langkah kegiatan juang di rumahnya. Rekaman kejadian berbagai kondisi dan situasi merekat dijiwa, rasa dan fikiran si kecil yang masih suci. Pantaslah, kalau ada pribahasa yang mengatakan: “belajar diwaktu kecil, bagai menulis diatas batu, belajar setelah dewasa, bagaikan menulis diatas air”.
      Diatas buku kecil berjudul “ketika jadul berjihad” inilah, gadis kecil tahun enam-puluhan yang kini telah menjadi nini-nini itu, menuliskan kejadian-kejadian yang masih terekam dalam ingatan dengan dibantu landasan dari hasil wawancara bersama tokoh  terkait.
      Alkisah JADUL (jaman dulu) sekitar tahun 60-an menurut ceritera Bapak K.H. Dimyati, (Galaherang)  berawal dari pergolakan   politik   di pusat Jakarta sehingga   MASYUMI  (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) dibubarkan, dan   munculnya  Partai  Komunis (anti Tuhan) yang disebut PKI (Partai Komunis Indonesia) maka,  Muhamad Natsir membuat salebaran kepada pemuka-pemuka agama ditiap desa untuk berjuang, berdakwah, menyebarkan Agama Islam, diantaranya berupa pendirian majlis Ta`lim atau pengajian-pengajian di masjid-masjid, langgar-langgar….,  seiring dengan itu,  kemudian  Pa K.H. Dimyati yang pada waktu itu tengah  berada di Jakarta dekat dengan Pak Moh. Natsir mengirimkan  telegram kepada Bapak O.Shodikin yang lazim dipanggil pak Ikin  di Cirahayu untuk berjuang  mendirikan madrasah-madrasah. (Sekolah yang bernafaskan Islam), Hal ini sebagai langkah dakwah, memperluas penyebaran agama yang benar yakni, agama Islam, terutama untuk para generasi sebagai penerus perjuangan Bangsa.
       Searah dengan itu, pak ikin pun tengah melangkah berjuang di Desa Cirahayu, merobah alam fikiran penduduk kecamatan Luragung yang kebanyakannya pada waktu itu masih jauh dari pemahaman agama Islam, tidak sedikit yang kena pengaruh agama pasundan pimpinan Madrais dari cigugur, dan ilmu mikung.
      Salah satu contoh sebagai bukti, ketika pak Ikin   bertamu ke penduduk penganut ilmu Mikung  bernama Cakarma. Bapak Cakarma menolak dan menyalahkan ucapan pak ikin, ketika Pak Ikin dijamu kue, mau makan kue itu berucap: “Bismilahi Ar Rohmaani Ar Rohiim”.  “Nak, Jangan begitu, itu ucapan yang salah” ucap Pak Cakarma, “ucapkanlah Samiallah bukan Bismilah”. sambungnya lagi. “Lho! Alasan nya pak?” Tanya pak ikin penasaran.  “sebab, kesemuanya sama-sama kekayaan Allah” jawab Cakarma lelaki tua itu.  “Betul. Semuanya kekayaan Allah, karena itu, dalam segala pekerjaan harus dimulai dengan nama Allah, yaitu Bismilah” pak ikin menerangkan. Namun, cakarma tetap pada pendiriannya bahwa ucapan Bismilah itu salah. Akhirnya Pak Ikin berdialog terus dengan dia sampai tidak kurang dari 4 jam, termasuk tentang sholat, yang mana pendapat dia cukup hanya dengan niat, bisa sambil mencangkul, sambil dagang, sambil masak, sambil menyapu dan sebagainya.
      Faham itulah yang menyebar di kecamatan Luragung pada waktu itu yang dihawatirakan semakin menyebar di desa Cirahayu. Demikianlah keterangan dari Bapak O.Shodikin ketika diwawancarai pada tahun 1974.
      Untuk menghadang  penyebaran faham yang salah, Pak Ikin menyusun kekuatan dengan pemuka agama disekitar wilayah Kecamatan Luragung (pada waktu itu masih Kewadanan). Bertambahlah semangat dan kekuatan Pak Ikin seterimanya telegram dari Pa Dimyati di Jakarta.
      Alam fikiran Pak Ikin tidak ditelan sendiri, dibicarakan, dicetuskan kepada tokoh-tokoh, para pemimpin yang ada didalam dan diluar desa sehingga, tidak kurang dari 40 orang pemimpin-pemimpin Islam dan Nasional. Diatara rekan-rekan juangnya yang paling dekat, dengan pak Ikin selain Pak Dimyati yang sering mondar-mandir  Jakarta adalah juga Bapak S. Imam Udin Pengawas pendidikan Agama Kersidenan Cirebon pada waktu itu, Bapak H. Hidayat Inspeksi Pendidikan Agama Islam Kab.  Kuningan  pada  waktu itu, Pak Ahmadi, B.A dan pak Djauhari,B.A yang tengah  kuliah di Jakarta pada waktu itu, menjadi konsul untuk menghubungi Departemen Agama di Jakarta, Bapak Zaenal Arifin Donatur Utama di Jakarta, Bapak A.Subari Kepala KUA Kec. Luragung pada waktu itu, Bapak A.Zawawi Penilik Agama pada waktu itu, Bapak Husnadi dan Muziana Penilik P&K  pada waktu itu, Bapak Suyana Pen. Mas. Kewadanan Luragung waktu itu, Bapak O.Sukarya atmaja Wedana Luragung waktu itu dan Bapak Suparma  Kepala Desa Cirahayu  waktu itu yang membuka tanah dan gedung, dia lah pendukung utama setempat.
      Singkat ceritera, ahirnya, Pak Ikin dengan tekad yang kuat dan perjuangan yang serius penuh ketabahan menghadapi berbagai rintangan, bersama  rekan-rekan juangnya yang  didampingi  pendukung utama,  Bapak H. Kuwu   Suparma,   Bapak Moh.Mugni, Bapak Moh. Mahmud, Bapak A.Syamsudin, Bapak Rusamsi dan lain-lain,  melangkah  berjuang mendirikan PGAP ( Pen-didikan Guru Agama tingkat Pertama). 4 Tahun. Sehingga  tepatnya  tanggal 24 Juni 1962 proklamasi PGA daerah Kewadanan Luragung, terwujudlah; bertempat di Desa Cirahayu dengan kepala sekolah Bapak O.Shodikin karena, dia pula sebagai ketua panitia dan penggagas utama pendirian Lembaga pendidikan yang  diberi nama  PGAP. (setingkat SLTP/SMP)
      Menurut ceritera Bapak H. Suwali, abituren PGAP periode pertama menerangkan bahwa: Pada saat pertama kali dibuka terdapat siswa kelas 1 (satu) sebanyak 32 orang yang berasal dari berbagai daerah dengan usia yang beraneka ragam, bahkan ada siswa yang saat itu sudah berusia 18 tahun. Para siswa saat itu sangat mematuhi kedisiplinan, mereka tabah dan semangat; tiap hari pulang-pergi ke sekolah berjalan kaki walau dengan jarak yang cukup jauh, bahkan ada yang dengan jarak sekitar 7 km dan menyebrangi sungai Cisanggarung, mereka tak pernah mengeluh, mereka para siswa semangat belajar meraih cita-cita menuju masa depannya yang penuh manfaat bagi semua. Mungkin inilah hasil gemblengan para tokoh jadul. ujar pa H.Suwali saat diwawancarai, Ahad 14 Juni 2009.
      Adapun tempat belajarnya di gedung KPT (Kursus Pemuda Tani). Kewadanan Luragung yang bertempat di Desa Cirahayu.  Saat itu, Kursus Pertanian yang diselenggarakan oleh Djawatan Pertanian mengalami kemunduran, maka, diajaklah oleh Kepala PGAP tersebut agar KPT bekerja sama untuk sama-sama mengadakan “pendidikan” yaitu, kurikulum PGA ditambah dengan kurikulum pertanian. Hingga pada waktu itu nama PGAP banyak yang mengira singkatan dari Pendidikan Guru Agama dan Pertanian, padahal, yang   sebenarnya   adalah   Pendidikan   Guru   Agama   tingkat Pertama (Wallahu `Alam), yang jelas arti dari  keduanya memang mengena. Hal ini berlaku hingga 4 tahun.
      Kemudian dikarenakan pertanian tidak berkelanjutan maka, tempat/lahan dan gedung, oper alih guna bangunan kepada PGAP, statusnya waktu itu masih tanah desa. Saat itu usia penulis baru 6 tahun ( 1956 – 1962 ). Tapi sampai kini masih tersimpan dalam ingatan: Kesibukan jadul (Ayahanda, pak Ikin) dan rekan-rekan juangnya yang mondar-mandir kesana-kemari, sibuk menulis, sibuk berdo`a dalam sholat dan dzikir bersama. Dan yang sering penulis lihat pada waktu itu sering ada kulub sampeu hipu ngebul (kukus singkong empuk mengepul) dimalam hari, diatas meja tulis dimana pak Ikin dan rekan-rekan juangnya bekerja dan banyak menulis. Sehingga sampai sekarang jika melihat singkong dikukus suka terbayang situasi masa silam, dengan kesibukan ayahanda yang menulis dibawah sinar lampu tempel yakni lampu minyak tanah, bukan lampu strum/ listrik masa kini. Lampu itu pakai  semprong kaca putih tipis dengan kertas sepotong agar teduh keatas, namun kebawah pas meja tulis tersinar jelas. Pada saat-saat seperti itu, ibunda (Atin kartinah) pernah membisikan padaku yang masih polos dan bloon: “dungakeun  bapak nuju berjuang, ulah rewel!” (= “doakan, ayah tengah berjuang, jangan rewel!”) hanya itu kata-kata yang ibunda bisikan ditelingaku ketika kuminta kulub sampeu (singkong kukus) yang ada di meja tulis itu. Sampai kini bisikan itu masih dapat didengar.         Semakin dewasa usiaku semakin faham dari kejadian-kejadian yang terekam diotaku, dapat merasakan betapa jerih payah ayahanda O. Shodikin, bersama rekan-rekan juangnya dalam berjuang menegak- kan syariat Islam pada tahun enam puluhan di Kabupaten Kuningan dan Kewadanan Luragung, tepatnya di Desa Cirahayu. Pada tahun enam puluhan itu, penulis ingat benar, betapa sulitnya rupiah waktu itu, disebutnya juga jaman paila, ekonomi sulit karena masa paceklik, makan pagi, tidak, sore , makan sore,  tidak, pagi. Sungguh pedih, mungkin karena usia Negara Indonesia merdeka, baru  seusia remaja belasan tahun, atau mungkin pula benarnya khabar bahwa ratusan ton beras dilempar kelaut oleh PKI. (Wallahu `Alam).Yang jelas jaman dahulu  berbeda dengan jaman kini, dimana JAMAN KINI teknologi tinggi, segalanya mudah, sekolah pun begitu mudah, tidak sedikit lembaga sekolah “gratis”. karena ada bantuan BOS, KBBS  dan   sebagainya; gedung-sekolah telah banyak, guru-guru telah banyak,.    Dulu, tahun 1960 an jangankan biaya sekolah, untuk makanpun sangat susah, karena itu, untuk membantu biaya, membantu pengadaan sarana dan prasana termasuk untuk memperluas gedung sekolah PGAP harus berusaha sekuat tenaga. Pak Ikin, berfikir melingkar: Ia mengadakan Tawaf hati berfikir kesegala arah, agar si miskin pun bisa sekolah, walau dirumah hanya bisa makan satu kali dalam sehari,   itupun  nasi jagung atau kejo oyek  yaitu, nasi yang terbuat dari singkong, malah kadang kulit (cangkang) singkong pun dikonsumsi sebagai pengganti nasi, pelepas lapar. Tekad Pak Ikin : anak-anak adalah generasi bangsa karena itu, sekalipun  dari udik dan  miskin, mereka harus bisa sekolah, walau tidak disetiap desa ada gedung sekolah. Dari kondisi dan situasi seperti ini, Pak Ikin punya kreatif mencari donasi sambil berda`wah, membuat kelompok hiburan (panggung gembira),  anggotanya terdiri dari siswa-siswa PGA dan tokoh masyarakat yang ditampilkan disetiap desa seperti seni drama, seni tari, seni suara  dan sebagainya. Penonton harus membeli karcis atau boleh berupa sumbangan langsung untuk pembangunan gedung PGA. Selain dari penjualan karcis (tiket nonton), juga tidak sedikit yang menyumbang dana untuk membuat bangunan gedung PGAP; berupa semen, kayu,dan lain-lain, malah dari warga desa Gunungkarung rela menyumbangkan pohon jati tua yang berdiri di pemakaman desa setempat dan penulis masih ingat, pohon jati itu pernah ditaruh didepan- rumah dan teramat besar sampai tidak dapat terangkul oleh dua orang, atau empat tangan. Nah, itu lah penulis katakan Pak Ikin berfikir melingkar atau towaf hati.
      Berfikir melingkar maksudnya, dari satu langkah, yakni Panggung gembira, dapat ditemukan beberapa hikmah, diantaranya : 1. sosialisasi wajib sekolah, sebagai pengamalan hadits Rasul “ Thalabu al ilmi fariidhatun `alaa kulli muslimin wa almuslimat “ 2. mengumpulkan dana untuk sarana prasana PGAP. 3. menghibur masyarakat, yang pada waktu itu (JAman DULu) langka akan hiburan. Tiada TV, tiada VCD, radio pun hanya satu atau dua orang yang memilikinya pada satu desa. 4. melatih mental remaja, untuk bisa tampil di arena.5. bisa sambil da`wah. 
      Dalam salah satu drama, penulis pun waktu itu pernah turut diperankan sebagai anak Siti Masithoh yang dilemparkan ke kancah besar berisi air panas oleh raja fir`aun. Raja Fir`aunnya diperankan oleh sdr. Suwali (Pak H. Suwali) yang diwaktu aku kecil kupanggil ia “ma Wali”, kini mantan penilik sekolah.  dan Siti Masitoh diperankan  oleh Bu Neni Yusnaeni Walahar-cageur yang waktu itu menjadi siswa PGAP kelas I.(kini Hj.Neni Guru SD di Jakarta). 
      Si raja Fir`aun adalah, rakus harta, sombong dan kafir, mengaku dirinya sebagai Tuhan, sedangkan  Siti Masitoh sebagai pembantunya yang sholehah teguh pendirian akan ketauhidannya, tidak mau mengakui ketuhanan raja Fir`aun selain kepada Allah SWT, siksaan apapun yang ditimpakan kepada siti Masitoh dari raja Fir`aun, iman Masitoh tidak goyah, dan seterusnya… segalanya masih terbayang, berbagai cara yang halal, dilakukan demi mendirikan bangunan gedung sekolah PGAP dan sekaligus da`wah.
      Usaha lain, dalam  berjuang mendirikan bangunan PGAP, rame-rame para siswa penuh semangat, mengumpulkan/mengambil batu dari cisande, walungan yang melintas disebelah utara Babakan  Cirahayu, juga pasir dari Citamiang;  batu bareng-bareng dipikul, pasir sama-sama dijinjing, gunakan ember atau dingkul, berulang-ulang, bolak-balik sedikit demi sedikit ramai-ramai, Pak Ikin bersama masyarakat desa Cirahayu dan para siswa-siwi PGA,  demi berdirinya sebuah bangunan / gedung untuk tempat belajar. Sungguh haru dan mengesankan bila ku kenang masa silam, ruhul jihad dijiwa mereka benar-benar tertanam, Itulah juangnya jaman dulu.  Dan Al hamdulillah, atas jerih payah semua pihak, ahirnya dapat terwujud satu bangunan gedung sekolah PGA yang didambakan, terdiri dari tiga ruang belajar dan satu kantor atau ruang guru dan T.U.
Sayang, bangunan tersebut sekarang sudah berubah wajah, sesuai dengan perkembangan zaman. Semoga saja pahalanya tetap mengalir kepada beliau-belilau yang telah berjasa. Amin.
      Lanjut cerita, untuk meningkatkan daya juang sehingga stabilitasi subsidi, organisasi disesuaikan dengan pengaruh politik pada waktu itu, maka, langkah juang Pak Ikin aktif pula sebagai ketua MWT N.U Kecamatan Luragung,  berusaha pula menggabungkan PGAP  dengan  organisasi   pendidikan   Islam   yakni   Lembaga .Pendidikan .“ Al Maarif “ N.U  Cabang Kabupaten  Kuningan ,   dari itu    jadilah dengan sebutan     PGA  AL MA`ARIF  ( 1966 -1968 ). 
      Pahit getirnya, semangat juang Pak Ikin dalam mencerdaskan anak bangsa selain melalui lembaga pendidikan PGA, juga aktif menghidupkan para pemuda/pemudi di desa, melalui pergerakan Pemuda Ansor yang disebut GP ANSOR dan PATAYAT untuk para pemudinya. Semua kegiatan itu, sampai kini tak pernah lenyap dari ingatanku, segalanya jelas, masih dapat dikenang dan cukup berkesan, walaupun penulis sendiri setelah dewasa mengaktifkan diri di organisasi Islam yang lain, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) organisasi mahasiswa Islam yang indevenden, bukan dibawah naungan N.U. atau PMII. Kami tidak fanatik satu organisasi karena, organisasi hanyalah sebagai wadah atau sarana untuk maju melangkah. Yang penting fanatik keislaman tetap melekat dalam dada dengan jiwa 165 (1 ikhsan, 6 rukun iman dan 5 rukun  islam).Dan setelah luluspun penulis pernah  turut aktif di organisasi Muhammadiyah.
      Salah satu syair karya Pak Ikin yang masih kukenang dengan lirik lagu “ Old lank sine” sebagai berikut :
Kini tiba saatnya tingkatkan kwaspadaan
Hadapilah musuh, musuh Islam anti Tuhan
Disinilah titik tolak perjuangan kita
Sesuai pula dengan nama siswa PGA.

Dan lagi, lagu Mars PGA, dengan syair karya Pak Ikin sebagai berikut :
Mengenangkan nasib perjuangan
Sebangsa dan setanah airku
Aku meninggalkan kemewahan
Aku maju terus menyatu
Jangan … kembali pulang, PGA
Sebelum kita menang
Walau mayat terhampar dimedan juang
Itulah PGA berjuang

Tinggalah ayah tinggalah ibu
Relakan daku pergi berjuang
Dibawah naungan Rabbul alam
Asal agama Islam cemerlang
      Masya Allah,  kalimat-kalimat   dan   irama   saduran  dari lagu  MRS  PKP ( Perkambungan Kerja Pelajar ) atau entah saduran dari syair dan lagu mars PUI atau entah dari mana, penulis kurang tahu jelas, yang penulis rasakan jelas kalimat-kalimat dengan nada juang diarena PGA pada waktu itu sangat mengesankan dan rasanya telah membentuk jiwa juang kami.  Subhanallah !.
      Sambil mengenang saat-saat yang penuh hikmah itu, sering kudendangkan lagu mars tersebut, sekitar tahun 1998-an, pernah minta tolong kepada seorang rekan guru kesenian di SMPN 5 Kuningan: Pak Edi pada waktu itu, yang kini kepala SMPN Bayuning  maka, terciptalah notasinya seperti dibawah ini dan saya buat pula syairnya dengan maksud sebagai alat penanaman jiwa juang pada arena pesantren kilat. maka, terciptalah “Mars Pesantren Kilat” yang mirip dengan lagu Mars PGA/Mars PKP/Mars PUI (?).

Pesantren  kilat    para   pelajar,  tegakkan
Program ROHIS  jangan diabaikan,  bangkitkan
Medan pningkatan ilmu dan amal
Menuju Ridha Allahu Salam

Smangat para pelajar, bangkitkan
Al Quran jadi pedoman
Walau kita berada disgala jaman
Iman Islam Ihsan bertahan

Resah    munafik   dan   kemalasan,   lenyapkan
Smangat   blajar    beramal    berjuang, tingkatkan
Ridha   Alloh     slalu   dirindukan   
Genrasi   amar  maruf  nahi  munkar


»»»»»
MEMETIK BUAH MUNGGARAN
           
      Langkah demi langkah terus merangkak, para tokoh jadul terus berteriak  mengumandangkan gema PGAP Luragung kepada seluruh peloksok, tak ketinggalan para siswa PGAP terus bergerak meningkatkan prestasinya disegala bidang: olah raga, kesenian, pertanian terus dikembangakan. Ilmu agama, pengetahuan umum dan bahasa terus ditata , walaupun kadang harus belajar sendiri karena tak ada guru… Waktu terus berlalu, masa terus berjalan, siswa bertambah guru pun mulai ada yang definitip (guru tetap). 
      Dari tahun 1963 sampai tahun 1967 lengkaplah sudah PGAP Luragung menjadi 4 kelas: kelas I sampai dengan kelas IV. Para    pendiri,   tokoh-tokoh  Jadul   yang   dikomandani   oleh   Bapak   O. Shodikin, terus berusaha mencari celah untuk memajukan PGA (Pendidikan Guru Agama). Demikian tutur cerita Pak H. Suwali, BA mantan Pengawas Penda Islam yang sejak 1 Mei 2004 sudah pensiun, beliau adalah salah seorang alumni pertama dan tertua dari PGA 4 Th Luragung. 



Gambar 1:
Photo Pak H.Suwali, BA saat diwawancarai




Dengan senyumnya yang has, dan terlihat keriput pipinya gambaran perjuangan masa silam, Pak H. Suwali, BA yang jaman dulu, dimasa kecil penulis memanggilnya Ma Wali, melanjutkan ceritanya: “Pada pertengahan tahun 1966 pemerintah dalam hal ini Departemen Agama, membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mengikuti ujian Calon  Guru Agama (Cagura) dengan persyaratan mempunyai ijazah SD/SR dan pernah masantren minimal 6 tahun serta sudah dewasa. Para Pembina PGA tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Siswa yang pada saat itu baru kelas III PGA, dipilih yang sudah dewasa agar mengikuti ujian Cagura. Tepatnya pada tanggal 25 s/d 27 Oktober 1966 dilaksanakan, ada sekitar 17 orang yang mengikuti ujian Cagura termasuk Pak Suwali.  Lama tak ada kabar berita, lanjut cerita Pak H.Suwali, dan memang siswa pun tidak mengingat-ingat bahwa mereka pernah mengikuti ujian untuk menjadi Guru Agama, tidak ada tuntutan apa-apa, ‘kumaha diaturna bae ku para sesepuh sareng para pejuang PGA’ lanjut keterangannya terselip Bahasa Sunda dengan lugot Desa Cirahayu yang khas.          Pada pertengahan Mei 1967 dan saat itu Pak Suwali dan kawan-kawannya sudah duduk dikelas IV PGA, mereka yang dipilih mengikuti ujian cagura mendapat ijazah tanda lulus ujian Cagura yang dikeluarkan oleh Departemen Agama Pusat. Kemudian pada bulan Agustus 1967 siswa kelas IV PGA yang disebut PGAP Al Ma’arif  di desa Cirahayu itu mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh PGAN 4 Th Cirebon sebagai ujian Akhir, ujian dibagi dua tahap yaitu, ujian sekolah untuk menentukan siapa yang berhak mengikuti ujian Negara. Ujian sekolah dilaksanakan pada tanggal 12 s/d 23 Oktober 1967,  kenang Pa H. Suwali.
      Akhirnya, dengan tidak diduga dan tidak disangka-sangka para siswa yang pernah mengikuti ujian  Cagura mendapatkan SK pengangkatan dari departemen Agama Pusat untuk menjadi guru Agama SD berikut SK mengajar dari Departemen Agama Kabupaten Kuningan. Begitu mudahnya pada saat itu untuk menjadi PNS, walaupun pangkat dan golongan ruang gaji yang paling rendah (Golongan Ib), saya dan rekan-rekan merasa sangat bahagia, jelas Pak H.Suwali mensyukuri. Ia melanjutkan ceritanya dengan raut muka bahagia, sesekali lempar senyuman seraya mata memandang keatas, nyoreang nyawang (mengenang masa silam). Ketika menerima SK menjadi Guru Agama kami asa kagunturan madu tiba-tiba datang lagi pengumuman pelulusan ujian Negara yang diselenggarakan di PGAN 4 Th Cirebon , Al Hamdulillah dari 27 siswa yang mengikuti ujian Negara lulus semua, kecuali 2 siswa dikarenakan sakit dan tidak hadir pada pelaksanaan ujian. Lanjut beliau, inilah “buah munggaran”  yang dihasilkan oleh PGAP Luragung, hasil jerih payah para tokoh Jadul; selain itu, mereka ada juga yang melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu PGAA (Pendidikan Guru Agama tingkat Atas) atau disebut PGAN 6 Th di Cirebon.” Demikian kenang Pak H. Suwali ketika diwawancarai.
      PGAN 6 Tahun itu kini menjadi Madrasah Aliyah, namun Pa H. Suwali sendiri, sementara itu, memilih menjadi guru agama SD Luragung 3, beliau tidak melanjutkan ke PGAA (Pendidikan Guru Agama Tingkat Atas) karena…”tidak mempunyai biaya” katanya berbisik, dan tersenyum.  
      Walaupun begitu, akhirnya  dia sukses mengikuti ujian Extranei PGAN 6 Th pada September 1971 sehingga mutasi menjadi GPAI SMPN 1 Luragung yang kemudian bisa melanjutkan kuliah di IAIN ‘Sunan Gunung Jati’ Bandung sampai lulus sarjana muda tahun 1976. Tahun 1982 beliau menjadi Pengawas PAI untuk wilayah Kecamatan Luragung sampai pensiun 1 Mei 2004.
      Itulah salah satu cerita buah munggaran  sebagai hasil pertama perjuangan jadul. dan mereka menjadi kader calon penerus yang akan melanjutkan perjuangan para tokoh Jadul. Insya Allah. Terang Pak H.Suwali mengahiri obrolannya.

»»»»»


PEMERINTAH MENYAMBUT PERJUANGAN TOKOH JADUL


      Lanjut cerita “ketika Jadul berjihad”, pada tanggal 1 Januari 1968 PGA ALMA`ARIF dinegerikan  menjadi   PGA NEGERI maka, tanah yang sudah dimiliki oleh PGA AL MA`ARIF itu  beralih status kepada Negara “seluas yang dibangun gedung”, adapun sisanya oleh Bapak Kuwu Suparma, diserah-terimakan kepada Pak Ikin, pendiri PGA tersebut, demi suksesnya perjuangan mendirikan lembaga pendidikan agama Islam di kecamatan Luragung yang bertempat di desa Cirahayu, untuk terus tanpa batas usia, melanjutkan perjuangannya dalam pengembangan pendidikan, pengajaran agama Islam.
 

 

Gambar 2:
Photo siswa PGAN 4 Tahun Luragung di Desa Cirahayu   depan Gedung PGA sekitar tahun 1971, tanda X  adalah Kepala
 PGAN pada waktu itu: Pak Ahmadi, BA