$
JADUL DAN JIHAD
enulis
mengenal nama orang “Jadul Maula”, lengkapnya M.Jadul Maula dari
internet dalam tulisan hasil diskusi ilmiyah berjudul : Masa Depan Pemikiran
Islam, Teater Utan Kayu, 5 Maret 2005, ia adalah seorang pemikir
Islam yang menjadi nara sumber pada diskusi itu beserta Ulil Abshar-Abdalla,
Fachry Ali, Amin Abdullah dengan moderator Luthfi Assyaukanie. Namun yang
dimaksud “jadul” pada tulisan dalam buku ini bukan semata-mata nama orang, akan
tetapi nama singkatan. (mohon maaf kepada Yth.M.Jadul Maula)
Pada
abad milenium ini agaknya sudah cukup lazim orang bilang dengan sebutan “jadul”
dengan maksud mengatakan jaman dulu atau jaman dahulu. Dalam kamus besar Bahasa
Indonesia: “jaman atau zaman”, yaitu dengan jangka waktu yang panjang atau
pendek yang menandai sesuatu. dan yang dimaksul “dulu” sama dengan
dahulu yakni (waktu) yang telah lalu atau (masa) lampau .
Dari pengertian diatas, yang dimaksud
jaman dulu (jadul) adalah sesuatu yang
terjadi pada masa lalu. Jelasnya, yang dimaksud “jadul” sebagai judul dari
karya tulis ini adalah seseorang
yang menjadi tokoh suatu
peristiwa atau kejadian atau boleh dikata tokoh sejarah perjuangan zaman
dahulu, tepatnya yang terjadi, atau dimulai berkiprah pada tahun 1962. Pada
tahun itulah, detik -
detik dimulainya timbul ide /langkah untuk mendirikan suatu lembaga
pendidikan. Pada arena jadul itu para siswa, pemuda/pemudi, sarat “Ruuhul
Jihad” yang tinggi . itulah jadul (Jaman dulu).
Sedangkan kata Jihad berasal dari
Bahasa Arab.Untuk memahami arti kata jihad, dalam Kamus Al Munawwir Arab –Indonesia Terlengkap, Ahmad Warson
Munawwir, (1997): Jihad dari akar kata “al jahdu atau al juhdu yang artinya
kekuatan atau kemampuan, kemudian jaahada, yang berarti mencurahkan segala
kekuatan dan al jihaadu artinya perjuangan. Orang yang melakukannya disebut al
mujaahidu artinya pejuang, prajurit
Adapun arti jihad menurut istilah, penulis
mengambil pendapat K.H.Achidin Noor, MA dalam makalahnya “Jihad yes, Teroris
No” : Jihad adalah : “Mencurahkan
segala kemampuan atau tenaga dalam mencapai
apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. Dan secara khusus jihad
berarti mencurahkan segala upaya (harta dan jiwa) dalam peperangan untuk
meninggikan kalimat Allah (agama-Nya)”
Hemat penulis, yang dimaksud “dalam
peperangan” dari pengertian jihad tersebut, bukan hanya peperangan dengan
angkat senjata berupa pedang, pistol, bambu runcing dan lain-lain, tapi
berperang melawan hawa nafsu pada diri sendiri seperti nafsu ingin menjadi orang terkaya, tergagah, terpandai,
terkenal tanpa berfikir melingkar atau memasa bodohkan nasib orang lain
yang memerlukan pertolongan sehingga, dirinya egois. Jihad melawan hawa nafsu
egois itulah termasuk perang yang tidak kalah beratnya dibanding perang dengan
menggunakan senjata.
Jihad adalah merupakan tugas hidup manusia
di dunia dimana Allah SWT telah menjadikan manusia itu sebagai kholifah di muka
bumi. Dari itulah, Q.S.Al Furqon:52 yang
artinya: “Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah
terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar”. Ayat ini menjadi
pola pikir langkah jadul yang insya Allah akan dilanjutkan oleh jani (jaman
kini) sebagai titisan langkah juang jadul. Amin.
Hidup adalah perjuangan. Berjuang dijalan
Allah; berjuang menegakkan syariat
Islam, me-numbuhkan dan membina generasi bangsa agar bertaqwa, itu adalah salah
satu langkah jihad.
Contoh lain, gerakan yang kini tengah
populer, langkah juang dan cita-cita DR. Ary Ginanjar Agustian yang
mencanangkan Indonesia “emas” tahun 2020 dengan membumikan asmaul husna melalui
ilmu pengetahuan barunya: “ilmu jiwa Asmaul husna” dan penanaman tujuh budi
utama –jujur, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerja sama, adil, peduli-
melalui pelatihan-pelatihan ESQ dari Sabang sampai Meroke, malah sudah
menjelajah ke luar negeri, itulah jihad.
Bahkan bagi umat Islam, setiap langkah
berupa usaha apapun jika langkah/usaha itu berlandaskan 165 yakni, ihsan (1),
iman (6 rukun) dan islam (5 rukun) maka
itu bermakna jihad. Sekalipun itu adalah sopir angkot atau supir bis
atau si bibi yang mencari nafkah demi
anaknya yang sedang sekolah dengan dagang sayuran, sorabi, goreng dage/tempe
atau apapun selama pekerjaan mereka berlandaskan 165 maka ia berjihad. Demikian
juga petani, pedagang, pelayan atau pengusaha lainnya selama usaha tersebut
berlandaskan 165, itulah jihad. Untuk itu, mari kita mengingat kembali
apa itu ihsan, iman dan islam.
Ihsan ( Bahasa Arab) asal kata dari
hasanah yang artinya “memperbaiki”. Ihsan maksudnya, berbuat baik kepada sesama
makhluk Allah dan berbuat baik kepada Al Khaliq yang menciptakan seluruh alam dan seisinya,
yakni Allah Shubhanahu wa ta’ala. Dimanapun, kapanpun, dalam situasi dan
kondisi apapun harus dengan cara yang baik. Rasulullah Saw. bersabda: “ihsan
ialah kamu beribadah kepada AllAh seperti kamu melihat-Nya, jika kamu
tidak melihat-Nya maka Allah tetap melihatmu” (h.r. Muslim, Tirmidzi
dan Nasa’i).
Makna “ibadah” dari hadits tersebut jangan
diartikan secara sempit sehingga hanya sholat, zakat dan puasa saja yang
termasuk ibadah tapi, ibadah adalah pengabdian kepada Allah Swt. apapun
bentuknya.
Hadits tersebut juga mengingatkan kita
bahwa, Allah Al Bashir, Allah Maha melihat, niscaya setiap langkah/usaha kita adalah
termasuk jihad karena itu, berusahalah langkah usaha kita agar dengan cara yang ma’ruf, tidak dengan menyakiti
seseorang, karena itu, hendaklah pada setiap langkah usaha harus terlebih
dahulu “berfikir melingkar”.
Contoh “berfikir melingkar”: jika anda seorang usahawan mau membuat bangunan perumahan, atau
membangun sebuah pabrik, atau apa saja, sekalipun itu bangunan mushalla,
lihatlah dahulu kanan kiri anda apakah ada yang tidak setuju dengan langkah
anda, kalau ada, apa alasannya, dekati dia, silaturahmi dan bermusyawarahlah
dengan cara yang baik; apalagi jika lahan yang akan dibuat bangunan tersebut
berupa tanah wasiat atau tanah warisan, atau, sekalipun itu lahan milik pribadi,
tetapi toh hidup disekitar itu tidak sendiri. Disamping itu perlu pula melihat
orang miskin disekitar kita dan saudara-saudara kita yang membutuhkan pekerjaan
dan perlu dibantu maka, bisa saja dia
diajak kerja sama saling tolong-menolong. Niatkan dan kondisikan pada setiap
langkah usaha, tidak sambil menyakiti atau apalagi jika merugikan orang lain.
Binalah pekerjaan yang ihsan, agar niscaya Allah SWT. meridhoinya. Singkatnya,
“kepedulian” harus selalu terbina pada jiwa orang yang
berfikir melingkar, itulah langkah orang ikhsan. Orang ikhsan tidak
egois. Kata orang jawa: “tidak se-enak udele dewek”. Kata orang sunda: “henteu
kumaha cek aing”. sebab ia yakin sang Maha menilai (Allah) selalu
mem-perhatikan pada setiap gerakannya. Disamping
itu, perlu diingat pula bahwa setiap langkah atau usaha sekalipun baik belumlah
dapat dikate-gorikan “jihad” jika usaha yang dilaksanakan dengan cara yang baik
itu tidak berlandaskan 6 rukun iman (beriman kepada Allah, malaikat-malaika-Nya,
Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, hari kiamat serta Qadha dan Qadar dari Allah)
dan 5 rukun Islam (Syahadat, Sholat,
zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan dan beribadah haji bagi yang mampu).
»»»»
R
FUNGSI DAN TUGAS
MANUSIA
ari sejak jaman dahulu sampai jaman
kini dan jaman yang akan datang, dari sejak manusia pertama (Adam a.s), sampai
manusia terakhir, tugas manusia di dunia itu pada dasarnya sama, yakni
“mengabdi” kepada yang Maha menciptakan (Al Khaliq), Allah Subhanahu wa ta`ala.
“Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur” ( Q.S.
An Nahl (16):78).
“Dan dialah yang telah
menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. amat
sedikitlah kamu bersyukur” (Q.S. Al Mu`minun (23): 78)
Kata “bersyukur” pada kedua ayat diatas,
ialah harus dapat menggunakan alat-alat pemberian Allah Swt yang terdapat pada
manusia berupa panca indra: pendengaran, penglihatan dan hati agar digunakan
untuk memperhatikan bukti-bukti kebesaran dan keesaan Tuhan Allah, yang dapat
membawa dirinya beriman kepada Allah s.w.t. serta taat dan patuh kepada-Nya.
Salah satu contoh kecil: kita diberi
pendengaran sehingga dapat menikmati alunan musik yang begitu merdu diringi
cuaca sore yang syahdu, sungguh membuat
hati ini terasa tentram, damai dan nikmat. Dari mana kita bisa
mendengarkan musik yang merdu itu, kalau
bukan pemberian dari As Sami’, Yang Maha Mendengarkan. Siapakah As Sami’ itu ?
Jawabannya tentu Allah Swt. sang pemilik
Asmaa’ul Husna.
Pemandangan dunia yang begitu indah baik
siang dengan pepohonan yang tumbuh dan
pe-gunungan yang menjulang, maupun malam dengan kelap-kelip bintang dan
berbagai macam keindahan lainnya, semuanya dapat dinikmati manusia. Lantas
siapakah yang memberikan mata sehingga bisa melihat keindahan dunia ini kalau
bukan Al Bashir (yang Maha Melihat)? Siapakah Al Bashir itu? Jawabannya tentu
Allah Subhanahu wa ta’ala Sang Pemilik As Maa’ul Husna.
Telinga, mata dan hati perlu dibimbing,
dibina dan diarahkan dengan ilmu pengetahuan yang benar sehingga bermanfaat;
karena itu bisa bersyukur. Orang yang bersyukur, kenikmatan-nya akan bertambah
tapi bagi orang yang tidak dapat mensyukuri nikmat, alias kufur nikmat, maka
baginya adzab dari Allah Swt. akan lebih
pedih.
Memperhatikan uraian diatas, betapa
pentingnya keberadaan suatu lembaga pendidikan. Mendidik adalah membiasakan
langkah dan ucapan serta tingkah laku yang benar. Dalam mendidik tentu ada
mengajar. Mengajar adalah menularkan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru
kepada anak didiknya. Mengajar dan mendidik adalah dua kata kerja yang
integral, tidak dapat dipisahkan salah-satu diantara kedua kata itu, dalam
proses untuk mencapai derajat “bersyukur”.
Mendirikan lembaga pendidikan adalah
menyedia-kan suatu wadah atau tempat untuk membina generasi bangsa, agar bisa
meng-gunakan panca indra dan semua anggota badan yang dimilikinya kearah yang benar sesuai ridha Allah Swt.
Tanpa adanya lembaga pendidikan, ilmu yang dimiliki manusia tidak akan
berkembang. Dan ruhul jihad pun tidak akan tertanam pada generasi berikutnya.
Jihad merupakan perbuatan ihsan (=baik).
searah dengan itu, maka, Jihad merupakan salah satu fungsi dan tugas manusia,
yakni berjuang untuk berbuat baik diatas dasar iman dan Islam. Ada kepedulian terhadap generasi bangsa
seperti dengan mendirikan sekolahan atau pondok pesantren, itu adalah salah
satu jihad fii sabiilillah, dan itulah salah satu pengabdian kepada Allah SWT.
Kembali
mengamati arti jihad seperti yang diuraikan pada fasal sebelumya dengan
menggabungkan arti mengabdi sebagai tugas manusia atau disebut juga ibadah maka 1, 6, 5 (ihsan, iman, islam)
adalah tiangnya agama. sedangkan jihad adalah bangunannya dan ibadah adalah
merupakan bahan-bahan untuk bangunan
»»»»»
?
ahit getir, langkah juang, suka cita
para pendiri PGA, pada waktu itu, terekam
oleh hati dan fikiran si gadis kecil, putri dari salah satu tokoh jadul
yang menjadi pusat sentral langkah kegiatan juang di rumahnya. Rekaman kejadian
berbagai kondisi dan situasi merekat dijiwa, rasa dan fikiran si kecil yang
masih suci. Pantaslah, kalau ada pribahasa yang mengatakan: “belajar diwaktu
kecil, bagai menulis diatas batu, belajar setelah dewasa, bagaikan menulis
diatas air”.
Diatas buku kecil berjudul “ketika jadul
berjihad” inilah, gadis kecil tahun enam-puluhan yang kini telah menjadi
nini-nini itu, menuliskan kejadian-kejadian yang masih terekam dalam ingatan
dengan dibantu landasan dari hasil wawancara bersama tokoh terkait.
Alkisah JADUL (jaman dulu) sekitar
tahun 60-an menurut ceritera Bapak K.H. Dimyati, (Galaherang) berawal dari pergolakan politik
di pusat Jakarta sehingga
MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin
Indonesia) dibubarkan, dan
munculnya Partai Komunis (anti Tuhan) yang disebut PKI (Partai
Komunis Indonesia) maka, Muhamad Natsir
membuat salebaran kepada pemuka-pemuka agama ditiap desa untuk berjuang,
berdakwah, menyebarkan Agama Islam, diantaranya berupa pendirian majlis Ta`lim
atau pengajian-pengajian di masjid-masjid, langgar-langgar…., seiring dengan itu, kemudian
Pa K.H. Dimyati yang pada waktu itu tengah berada di Jakarta dekat dengan Pak Moh.
Natsir mengirimkan telegram kepada Bapak
O.Shodikin yang lazim dipanggil pak Ikin
di Cirahayu untuk berjuang
mendirikan madrasah-madrasah. (Sekolah yang bernafaskan Islam), Hal ini
sebagai langkah dakwah, memperluas penyebaran agama yang benar yakni, agama
Islam, terutama untuk para generasi sebagai penerus perjuangan Bangsa.
Searah dengan itu, pak ikin pun tengah
melangkah berjuang di Desa Cirahayu, merobah alam fikiran penduduk kecamatan
Luragung yang kebanyakannya pada waktu itu masih jauh dari pemahaman agama
Islam, tidak sedikit yang kena pengaruh agama pasundan pimpinan Madrais dari
cigugur, dan ilmu mikung.
Salah
satu contoh sebagai bukti, ketika pak Ikin
bertamu ke penduduk penganut ilmu Mikung
bernama Cakarma. Bapak Cakarma menolak dan menyalahkan ucapan pak ikin,
ketika Pak Ikin dijamu kue, mau makan kue itu berucap: “Bismilahi Ar
Rohmaani Ar Rohiim”. “Nak, Jangan
begitu, itu ucapan yang salah” ucap Pak Cakarma, “ucapkanlah Samiallah
bukan Bismilah”. sambungnya lagi. “Lho! Alasan nya pak?” Tanya pak ikin
penasaran. “sebab, kesemuanya sama-sama
kekayaan Allah” jawab Cakarma lelaki tua itu.
“Betul. Semuanya kekayaan Allah, karena itu, dalam segala pekerjaan
harus dimulai dengan nama Allah, yaitu Bismilah” pak ikin menerangkan. Namun,
cakarma tetap pada pendiriannya bahwa ucapan Bismilah itu salah.
Akhirnya Pak Ikin berdialog terus dengan dia sampai tidak kurang dari 4 jam,
termasuk tentang sholat, yang mana pendapat dia cukup hanya dengan niat, bisa
sambil mencangkul, sambil dagang, sambil masak, sambil menyapu dan sebagainya.
Faham itulah yang menyebar di kecamatan
Luragung pada waktu itu yang dihawatirakan semakin menyebar di desa Cirahayu.
Demikianlah keterangan dari Bapak O.Shodikin ketika diwawancarai pada tahun
1974.
Untuk menghadang penyebaran faham yang salah, Pak Ikin
menyusun kekuatan dengan pemuka agama disekitar wilayah Kecamatan Luragung
(pada waktu itu masih Kewadanan). Bertambahlah semangat dan kekuatan Pak Ikin
seterimanya telegram dari Pa Dimyati di Jakarta.
Alam fikiran Pak Ikin tidak ditelan
sendiri, dibicarakan, dicetuskan kepada tokoh-tokoh, para pemimpin yang ada
didalam dan diluar desa sehingga, tidak kurang dari 40 orang pemimpin-pemimpin
Islam dan Nasional. Diatara rekan-rekan juangnya yang paling dekat, dengan pak
Ikin selain Pak Dimyati yang sering mondar-mandir Jakarta adalah juga Bapak S. Imam Udin
Pengawas pendidikan Agama Kersidenan Cirebon pada waktu itu, Bapak H. Hidayat
Inspeksi Pendidikan Agama Islam Kab.
Kuningan pada waktu itu, Pak Ahmadi, B.A dan pak
Djauhari,B.A yang tengah kuliah di
Jakarta pada waktu itu, menjadi konsul untuk menghubungi Departemen Agama di
Jakarta, Bapak Zaenal Arifin Donatur Utama di Jakarta, Bapak A.Subari Kepala
KUA Kec. Luragung pada waktu itu, Bapak A.Zawawi Penilik Agama pada waktu itu,
Bapak Husnadi dan Muziana Penilik P&K
pada waktu itu, Bapak Suyana Pen. Mas. Kewadanan Luragung waktu itu,
Bapak O.Sukarya atmaja Wedana Luragung waktu itu dan Bapak Suparma Kepala Desa Cirahayu waktu itu yang membuka tanah dan gedung, dia
lah pendukung utama setempat.
Singkat ceritera, ahirnya, Pak Ikin dengan
tekad yang kuat dan perjuangan yang serius penuh ketabahan menghadapi berbagai
rintangan, bersama rekan-rekan juangnya
yang didampingi pendukung utama, Bapak H. Kuwu Suparma,
Bapak Moh.Mugni, Bapak Moh. Mahmud, Bapak A.Syamsudin, Bapak Rusamsi dan
lain-lain, melangkah berjuang mendirikan PGAP ( Pen-didikan Guru
Agama tingkat Pertama). 4 Tahun. Sehingga tepatnya tanggal 24 Juni 1962 proklamasi PGA daerah Kewadanan
Luragung, terwujudlah; bertempat di Desa Cirahayu dengan kepala sekolah Bapak
O.Shodikin karena, dia pula sebagai ketua panitia dan penggagas utama pendirian
Lembaga pendidikan yang diberi nama PGAP. (setingkat SLTP/SMP)
Menurut ceritera Bapak H. Suwali, abituren
PGAP periode pertama menerangkan bahwa: Pada saat pertama kali dibuka terdapat
siswa kelas 1 (satu) sebanyak 32 orang yang berasal dari berbagai daerah dengan
usia yang beraneka ragam, bahkan ada siswa yang saat itu sudah berusia 18 tahun.
Para siswa saat itu sangat mematuhi kedisiplinan, mereka tabah dan semangat;
tiap hari pulang-pergi ke sekolah berjalan kaki walau dengan jarak yang cukup
jauh, bahkan ada yang dengan jarak sekitar 7 km dan menyebrangi sungai
Cisanggarung, mereka tak pernah mengeluh, mereka para siswa semangat belajar
meraih cita-cita menuju masa depannya yang penuh manfaat bagi semua. Mungkin
inilah hasil gemblengan para tokoh jadul. ujar
pa H.Suwali saat diwawancarai, Ahad 14 Juni 2009.
Adapun tempat belajarnya di gedung KPT
(Kursus Pemuda Tani). Kewadanan Luragung yang bertempat di Desa Cirahayu. Saat itu, Kursus Pertanian yang
diselenggarakan oleh Djawatan Pertanian mengalami kemunduran, maka,
diajaklah oleh Kepala PGAP tersebut agar KPT bekerja sama untuk sama-sama
mengadakan “pendidikan” yaitu, kurikulum PGA ditambah dengan kurikulum
pertanian. Hingga pada waktu itu nama PGAP banyak yang mengira singkatan dari
Pendidikan Guru Agama dan Pertanian, padahal, yang sebenarnya
adalah Pendidikan Guru
Agama tingkat Pertama (Wallahu
`Alam), yang jelas arti dari keduanya
memang mengena. Hal ini berlaku hingga 4 tahun.
Kemudian dikarenakan pertanian tidak
berkelanjutan maka, tempat/lahan dan gedung, oper alih guna bangunan kepada
PGAP, statusnya waktu itu masih tanah desa. Saat itu usia penulis baru 6 tahun
( 1956 – 1962 ). Tapi sampai kini masih tersimpan dalam ingatan: Kesibukan
jadul (Ayahanda, pak Ikin) dan rekan-rekan juangnya yang mondar-mandir
kesana-kemari, sibuk menulis, sibuk berdo`a dalam sholat dan dzikir bersama.
Dan yang sering penulis lihat pada waktu itu sering ada kulub sampeu hipu
ngebul (kukus singkong empuk mengepul) dimalam hari, diatas meja tulis
dimana pak Ikin dan rekan-rekan juangnya bekerja dan banyak menulis. Sehingga
sampai sekarang jika melihat singkong dikukus suka terbayang situasi masa
silam, dengan kesibukan ayahanda yang menulis dibawah sinar lampu tempel yakni
lampu minyak tanah, bukan lampu strum/ listrik masa kini. Lampu itu pakai semprong kaca putih tipis dengan kertas sepotong
agar teduh keatas, namun kebawah pas meja tulis tersinar jelas. Pada saat-saat
seperti itu, ibunda (Atin kartinah) pernah membisikan padaku yang masih polos
dan bloon: “dungakeun bapak nuju
berjuang, ulah rewel!” (= “doakan, ayah tengah berjuang, jangan rewel!”)
hanya itu kata-kata yang ibunda bisikan ditelingaku ketika kuminta kulub
sampeu (singkong kukus) yang ada di meja tulis itu. Sampai kini bisikan itu
masih dapat didengar. Semakin dewasa usiaku semakin faham dari
kejadian-kejadian yang terekam diotaku, dapat merasakan betapa jerih payah
ayahanda O. Shodikin, bersama rekan-rekan juangnya dalam berjuang menegak- kan
syariat Islam pada tahun enam puluhan di Kabupaten Kuningan dan Kewadanan
Luragung, tepatnya di Desa Cirahayu. Pada tahun enam puluhan itu, penulis ingat
benar, betapa sulitnya rupiah waktu itu, disebutnya juga jaman paila, ekonomi
sulit karena masa paceklik, makan pagi, tidak, sore , makan sore, tidak, pagi. Sungguh pedih, mungkin karena usia
Negara Indonesia merdeka, baru seusia remaja
belasan tahun, atau mungkin pula benarnya khabar bahwa ratusan ton beras
dilempar kelaut oleh PKI. (Wallahu `Alam).Yang jelas jaman dahulu berbeda dengan jaman kini, dimana JAMAN
KINI teknologi tinggi, segalanya mudah, sekolah pun begitu mudah, tidak
sedikit lembaga sekolah “gratis”. karena ada bantuan BOS, KBBS dan
sebagainya; gedung-sekolah telah banyak, guru-guru telah banyak,. Dulu, tahun 1960 an jangankan biaya
sekolah, untuk makanpun sangat susah, karena itu, untuk membantu biaya,
membantu pengadaan sarana dan prasana termasuk untuk memperluas gedung sekolah
PGAP harus berusaha sekuat tenaga. Pak Ikin, berfikir melingkar: Ia mengadakan Tawaf
hati berfikir kesegala arah, agar si miskin pun bisa sekolah, walau dirumah
hanya bisa makan satu kali dalam sehari,
itupun nasi jagung atau kejo
oyek yaitu, nasi yang terbuat dari
singkong, malah kadang kulit (cangkang) singkong pun dikonsumsi sebagai
pengganti nasi, pelepas lapar. Tekad Pak Ikin : anak-anak adalah generasi
bangsa karena itu, sekalipun dari udik
dan miskin, mereka harus bisa sekolah,
walau tidak disetiap desa ada gedung sekolah. Dari kondisi dan situasi seperti
ini, Pak Ikin punya kreatif mencari donasi sambil berda`wah, membuat kelompok
hiburan (panggung gembira), anggotanya
terdiri dari siswa-siswa PGA dan tokoh masyarakat yang ditampilkan disetiap
desa seperti seni drama, seni tari, seni suara
dan sebagainya. Penonton harus membeli karcis atau boleh berupa
sumbangan langsung untuk pembangunan gedung PGA. Selain dari penjualan karcis
(tiket nonton), juga tidak sedikit yang menyumbang dana untuk membuat bangunan
gedung PGAP; berupa semen, kayu,dan lain-lain, malah dari warga desa
Gunungkarung rela menyumbangkan pohon jati tua yang berdiri di pemakaman desa
setempat dan penulis masih ingat, pohon jati itu pernah ditaruh didepan- rumah
dan teramat besar sampai tidak dapat terangkul oleh dua orang, atau empat
tangan. Nah, itu lah penulis katakan Pak Ikin berfikir melingkar atau towaf
hati.
Berfikir melingkar maksudnya, dari satu
langkah, yakni Panggung gembira, dapat ditemukan beberapa hikmah, diantaranya :
1. sosialisasi wajib sekolah, sebagai pengamalan hadits Rasul “ Thalabu al ilmi
fariidhatun `alaa kulli muslimin wa almuslimat “ 2. mengumpulkan dana untuk
sarana prasana PGAP. 3. menghibur masyarakat, yang pada waktu itu (JAman
DULu) langka akan hiburan. Tiada TV, tiada VCD, radio pun hanya satu
atau dua orang yang memilikinya pada satu desa. 4. melatih mental remaja, untuk
bisa tampil di arena.5. bisa sambil da`wah.
Dalam salah satu drama, penulis pun waktu
itu pernah turut diperankan sebagai anak Siti Masithoh yang dilemparkan ke
kancah besar berisi air panas oleh raja fir`aun. Raja Fir`aunnya diperankan
oleh sdr. Suwali (Pak H. Suwali) yang diwaktu aku kecil kupanggil ia “ma Wali”,
kini mantan penilik sekolah. dan Siti
Masitoh diperankan oleh Bu Neni Yusnaeni
Walahar-cageur yang waktu itu menjadi siswa PGAP kelas I.(kini Hj.Neni Guru SD
di Jakarta).
Si raja Fir`aun adalah, rakus harta,
sombong dan kafir, mengaku dirinya sebagai Tuhan, sedangkan Siti Masitoh sebagai pembantunya yang
sholehah teguh pendirian akan ketauhidannya, tidak mau mengakui ketuhanan raja
Fir`aun selain kepada Allah SWT, siksaan apapun yang ditimpakan kepada siti
Masitoh dari raja Fir`aun, iman Masitoh tidak goyah, dan seterusnya… segalanya
masih terbayang, berbagai cara yang halal, dilakukan demi mendirikan bangunan
gedung sekolah PGAP dan sekaligus da`wah.
Usaha lain, dalam berjuang mendirikan bangunan PGAP, rame-rame
para siswa penuh semangat, mengumpulkan/mengambil batu dari cisande, walungan
yang melintas disebelah utara Babakan
Cirahayu, juga pasir dari Citamiang;
batu bareng-bareng dipikul, pasir sama-sama dijinjing, gunakan ember
atau dingkul, berulang-ulang, bolak-balik sedikit demi sedikit ramai-ramai, Pak
Ikin bersama masyarakat desa Cirahayu dan para siswa-siwi PGA, demi berdirinya sebuah bangunan / gedung
untuk tempat belajar. Sungguh haru dan mengesankan bila ku kenang masa silam,
ruhul jihad dijiwa mereka benar-benar tertanam, Itulah juangnya jaman
dulu. Dan Al hamdulillah, atas jerih
payah semua pihak, ahirnya dapat terwujud satu bangunan gedung sekolah PGA yang
didambakan, terdiri dari tiga ruang belajar dan satu kantor atau ruang guru dan
T.U.
Sayang, bangunan
tersebut sekarang sudah berubah wajah, sesuai dengan perkembangan zaman. Semoga
saja pahalanya tetap mengalir kepada beliau-belilau yang telah berjasa. Amin.
Lanjut cerita, untuk meningkatkan daya
juang sehingga stabilitasi subsidi, organisasi disesuaikan dengan pengaruh politik
pada waktu itu, maka, langkah juang Pak Ikin aktif pula sebagai ketua MWT N.U
Kecamatan Luragung, berusaha pula
menggabungkan PGAP dengan organisasi
pendidikan Islam yakni
Lembaga .Pendidikan .“ Al Maarif “ N.U
Cabang Kabupaten Kuningan , dari itu
jadilah dengan sebutan
PGA AL MA`ARIF ( 1966 -1968 ).
Pahit getirnya, semangat juang Pak Ikin
dalam mencerdaskan anak bangsa selain melalui lembaga pendidikan PGA, juga
aktif menghidupkan para pemuda/pemudi di desa, melalui pergerakan Pemuda Ansor
yang disebut GP ANSOR dan PATAYAT untuk para pemudinya. Semua kegiatan itu,
sampai kini tak pernah lenyap dari ingatanku, segalanya jelas, masih dapat
dikenang dan cukup berkesan, walaupun penulis sendiri setelah dewasa
mengaktifkan diri di organisasi Islam yang lain, seperti HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) organisasi mahasiswa Islam yang indevenden, bukan dibawah
naungan N.U. atau PMII. Kami tidak fanatik satu organisasi karena, organisasi
hanyalah sebagai wadah atau sarana untuk maju melangkah. Yang penting fanatik
keislaman tetap melekat dalam dada dengan jiwa 165 (1 ikhsan, 6 rukun iman dan
5 rukun islam).Dan setelah luluspun
penulis pernah turut aktif di organisasi
Muhammadiyah.
Salah satu syair karya Pak Ikin yang masih
kukenang dengan lirik lagu “ Old lank sine” sebagai berikut :
Kini tiba saatnya tingkatkan
kwaspadaan
Hadapilah musuh, musuh Islam
anti Tuhan
Disinilah titik tolak
perjuangan kita
Sesuai pula dengan nama siswa
PGA.
Dan lagi, lagu
Mars PGA, dengan syair karya Pak Ikin sebagai berikut :
Mengenangkan nasib perjuangan
Sebangsa dan setanah airku
Aku meninggalkan kemewahan
Aku maju terus menyatu
Jangan … kembali pulang, PGA
Sebelum kita menang
Walau mayat terhampar dimedan
juang
Itulah PGA berjuang
Tinggalah ayah tinggalah ibu
Relakan daku pergi berjuang
Dibawah naungan Rabbul alam
Asal agama
Islam cemerlang
Masya Allah, kalimat-kalimat dan
irama saduran dari lagu
MRS PKP ( Perkambungan Kerja
Pelajar ) atau entah saduran dari syair dan lagu mars PUI atau entah dari mana,
penulis kurang tahu jelas, yang penulis rasakan jelas kalimat-kalimat dengan
nada juang diarena PGA pada waktu itu sangat mengesankan dan rasanya telah
membentuk jiwa juang kami. Subhanallah
!.
Sambil mengenang saat-saat yang penuh
hikmah itu, sering kudendangkan lagu mars tersebut, sekitar tahun 1998-an,
pernah minta tolong kepada seorang rekan guru kesenian di SMPN 5 Kuningan: Pak
Edi pada waktu itu, yang kini kepala SMPN Bayuning maka, terciptalah notasinya seperti dibawah
ini dan saya buat pula syairnya dengan maksud sebagai alat penanaman jiwa juang
pada arena pesantren kilat. maka, terciptalah “Mars Pesantren Kilat”
yang mirip dengan lagu Mars PGA/Mars PKP/Mars PUI (?).
Pesantren kilat
para pelajar, tegakkan
Program ROHIS jangan diabaikan, bangkitkan
Medan pningkatan ilmu dan amal
Menuju Ridha Allahu Salam
Smangat para
pelajar, bangkitkan
Al Quran jadi
pedoman
Walau kita
berada disgala jaman
Iman Islam
Ihsan bertahan
Resah munafik
dan kemalasan, lenyapkan
Smangat blajar
beramal berjuang, tingkatkan
Ridha Alloh
slalu dirindukan
Genrasi amar
maruf nahi munkar
»»»»»
MEMETIK BUAH MUNGGARAN
Langkah demi langkah terus merangkak, para
tokoh jadul terus berteriak
mengumandangkan gema PGAP Luragung kepada seluruh peloksok, tak
ketinggalan para siswa PGAP terus bergerak meningkatkan prestasinya disegala
bidang: olah raga, kesenian, pertanian terus dikembangakan. Ilmu agama,
pengetahuan umum dan bahasa terus ditata , walaupun kadang harus belajar
sendiri karena tak ada guru… Waktu terus berlalu, masa terus berjalan, siswa
bertambah guru pun mulai ada yang definitip (guru tetap).
Dari tahun 1963 sampai tahun 1967
lengkaplah sudah PGAP Luragung menjadi 4 kelas: kelas I sampai dengan kelas IV.
Para pendiri, tokoh-tokoh
Jadul yang dikomandani
oleh Bapak O. Shodikin, terus berusaha mencari celah
untuk memajukan PGA (Pendidikan Guru Agama). Demikian tutur cerita Pak H.
Suwali, BA mantan Pengawas Penda Islam yang sejak 1 Mei 2004 sudah pensiun,
beliau adalah salah seorang alumni pertama dan tertua dari PGA 4 Th Luragung.
Gambar 1:
Photo Pak H.Suwali, BA saat diwawancarai
Dengan
senyumnya yang has, dan terlihat keriput pipinya gambaran perjuangan masa
silam, Pak H. Suwali, BA yang jaman dulu, dimasa kecil penulis memanggilnya Ma
Wali, melanjutkan ceritanya: “Pada pertengahan tahun 1966 pemerintah dalam hal
ini Departemen Agama, membuka kesempatan kepada masyarakat untuk mengikuti
ujian Calon Guru Agama (Cagura) dengan
persyaratan mempunyai ijazah SD/SR dan pernah masantren minimal 6 tahun serta
sudah dewasa. Para Pembina PGA tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Siswa
yang pada saat itu baru kelas III PGA, dipilih yang sudah dewasa agar mengikuti
ujian Cagura. Tepatnya pada tanggal 25 s/d 27 Oktober 1966 dilaksanakan, ada
sekitar 17 orang yang mengikuti ujian Cagura termasuk Pak Suwali. Lama tak ada kabar berita, lanjut cerita Pak
H.Suwali, dan memang siswa pun tidak mengingat-ingat bahwa mereka pernah
mengikuti ujian untuk menjadi Guru Agama, tidak ada tuntutan apa-apa, ‘kumaha
diaturna bae ku para sesepuh sareng para pejuang PGA’ lanjut keterangannya
terselip Bahasa Sunda dengan lugot Desa Cirahayu yang khas. Pada pertengahan Mei 1967 dan saat itu
Pak Suwali dan kawan-kawannya sudah duduk dikelas IV PGA, mereka yang dipilih
mengikuti ujian cagura mendapat ijazah tanda lulus ujian Cagura yang
dikeluarkan oleh Departemen Agama Pusat. Kemudian pada bulan Agustus 1967 siswa
kelas IV PGA yang disebut PGAP Al Ma’arif
di desa Cirahayu itu mengikuti ujian yang diselenggarakan oleh PGAN 4 Th
Cirebon sebagai ujian Akhir, ujian dibagi dua tahap yaitu, ujian sekolah untuk
menentukan siapa yang berhak mengikuti ujian Negara. Ujian sekolah dilaksanakan
pada tanggal 12 s/d 23 Oktober 1967,
kenang Pa H. Suwali.
Akhirnya, dengan tidak diduga dan tidak
disangka-sangka para siswa yang pernah mengikuti ujian Cagura mendapatkan SK pengangkatan dari
departemen Agama Pusat untuk menjadi guru Agama SD berikut SK mengajar dari
Departemen Agama Kabupaten Kuningan. Begitu mudahnya pada saat itu untuk
menjadi PNS, walaupun pangkat dan golongan ruang gaji yang paling rendah
(Golongan Ib), saya dan rekan-rekan merasa sangat bahagia, jelas Pak H.Suwali
mensyukuri. Ia melanjutkan ceritanya dengan raut muka bahagia, sesekali lempar
senyuman seraya mata memandang keatas, nyoreang nyawang (mengenang masa
silam). Ketika menerima SK menjadi Guru Agama kami asa kagunturan madu tiba-tiba
datang lagi pengumuman pelulusan ujian Negara yang diselenggarakan di PGAN 4 Th
Cirebon , Al Hamdulillah dari 27 siswa yang mengikuti ujian Negara lulus semua,
kecuali 2 siswa dikarenakan sakit dan tidak hadir pada pelaksanaan ujian.
Lanjut beliau, inilah “buah munggaran” yang dihasilkan oleh PGAP Luragung, hasil
jerih payah para tokoh Jadul; selain itu, mereka ada juga yang melanjutkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu PGAA (Pendidikan Guru Agama
tingkat Atas) atau disebut PGAN 6 Th di Cirebon.” Demikian kenang Pak H. Suwali
ketika diwawancarai.
PGAN 6 Tahun itu kini menjadi Madrasah
Aliyah, namun Pa H. Suwali sendiri, sementara itu, memilih menjadi guru agama
SD Luragung 3, beliau tidak melanjutkan ke PGAA (Pendidikan Guru Agama Tingkat
Atas) karena…”tidak mempunyai biaya” katanya berbisik, dan tersenyum.
Walaupun begitu, akhirnya dia sukses mengikuti ujian Extranei PGAN 6 Th
pada September 1971 sehingga mutasi menjadi GPAI SMPN 1 Luragung yang kemudian
bisa melanjutkan kuliah di IAIN ‘Sunan Gunung Jati’ Bandung sampai lulus
sarjana muda tahun 1976. Tahun 1982 beliau menjadi Pengawas PAI untuk wilayah
Kecamatan Luragung sampai pensiun 1 Mei 2004.
Itulah salah satu cerita buah munggaran
sebagai hasil pertama perjuangan
jadul. dan mereka menjadi kader calon penerus yang akan melanjutkan
perjuangan para tokoh Jadul. Insya Allah. Terang Pak H.Suwali mengahiri
obrolannya.
»»»»»
PEMERINTAH MENYAMBUT PERJUANGAN TOKOH JADUL
anjut cerita “ketika Jadul berjihad”,
pada tanggal 1 Januari 1968 PGA ALMA`ARIF dinegerikan menjadi
PGA NEGERI maka, tanah yang sudah dimiliki oleh PGA AL MA`ARIF itu beralih status kepada Negara “seluas yang
dibangun gedung”, adapun sisanya oleh Bapak Kuwu Suparma, diserah-terimakan
kepada Pak Ikin, pendiri PGA tersebut, demi suksesnya perjuangan mendirikan
lembaga pendidikan agama Islam di kecamatan Luragung yang bertempat di desa
Cirahayu, untuk terus tanpa batas usia, melanjutkan perjuangannya dalam
pengembangan pendidikan, pengajaran agama Islam.
Gambar 2:
Photo siswa PGAN 4 Tahun Luragung di Desa
Cirahayu depan Gedung PGA sekitar tahun
1971, tanda X adalah Kepala
PGAN
pada waktu itu: Pak Ahmadi, BA